Kamis, 07 Agustus 2008

Rendahnya Kepekaan Terhadap Kemiskinan

. Kamis, 07 Agustus 2008

Edisi Mei 2008

M. Arief Haryadi

Pemerintahan SBY-JK telah tiga kali menaikkan harga BBM, yaitu 30 persen pada Maret 2005, 120 persen pada 1 Oktober 2005, dan 28,9 persen pada 25 Mei 2008. Dana kompensasi kenaikan harga BBM tahun ini mencapai Rp 35 triliun dan akan dialokasikan untuk program pengentasan kemiskinan. Di antaranya BLT plus bagi 19,1 juta rumah tangga miskin (RTM), atau setiap RTM akan menerima sekitar Rp 100.000 perbulan selama setahun. Selain itu, pemerintah akan memberikan tambahan bantuan kepada masyarakat berupa bahan makanan, di luar skema raskin. Pemerintah mengklaim program ini akan menurunkan persentase penduduk miskin dari 17,75 persen menjadi 16,75 persen.

Pertanyaannya adalah, benarkah klaim pemerintah tersebut? Bukankah sudah bisa diprediksi bahwa dengan kenaikan BBM, justru akan banyak meningkatkan jumlah rakyat miskin? Apakah kompensasi terhadap kenaikan BBM pengalaman sebelumnya telah memberi ruang untuk ‘bernafas’ bagi rakyat? Apakah pemerintah sudah sungguh-sungguh melihat akar masalah dari problem ini secara keseluruhan dan mendasar?

Ketika pemerintah menaikkan BBM tahun 2005, jumlah penganggurannya meningkat sekitar dua kali lipat menjadi 11,15 juta orang, atau sekitar 5 persen dari total penduduk Indonesia yang 223 juta jiwa. Data MDG’s Februari 2007 menunjukkan pada pasca kenaikan BBM 2005 jumlah pengangguran terbuka dengan kategori usia 15-24 tahun mencapai sekitar 33 persen. Dari angka itu, jumlah usia muda pengangguran terbuka 54,87 persen, dimana laki-laki sebanyak 22,86 persen dan perempuan 29,53 persen. Jumlah orang miskin di Indonesia pun melonjak menjadi 37,17 juta jiwa. Badan Pusat Statistik Indonesia edisi Maret 2007 pun mencatat angka yang sama, yakni 37,17 juta jiwa atau 16,58 persen dari jumlah penduduk Indonesia. Khusus di Sulawesi Utara dengan jumlah penduduk yang 2.196.700 jiwa, angka kemiskinan mencapai 12,96 persen, atau 284.692 jiwa.

Kenapa Kenaikan BBM Ditolak?
Mengapa kenaikan BBM ditolak? Bukankah dalam setiap pernyataan pemerintah, rakyat miskin akan mendapat kompensasi dalam bentuk BLT, dana pendidikan, kesehatan dan pangan? Kenaikan harga BBM dalam perspektif pemerintah merupakan sebuah keniscayaan terutama setelah harga minyak dunia melonjak cukup dramatis dalam beberapa bulan terakhir. Asumsinya, jika harga minyak dunia mencapai USD 83 per barrel, maka subsidi BBM akan mencapai Rp 190 trilyun. Ini akan sangat memberatkan beban APBN 2008.

Selain itu, aspek keadilan juga menjadi pertimbangan lain untuk rencana kenaikan harga BBM ini. Menurut M Fadhil Hasan, Direkur Utama Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) menyatakan subsidi BBM tidak adil karena sekitar 72 persen dinikmati dari total subsidi dinikmati golongan menengah ke atas. Sedangkan kelompok masyarakat bawah hanya menikmati 28 persen. Maka menaikkan harga BBM merupakan koreksi terhadap ketidakadilan yang selama ini berlangsung. Apalagi kalau angka 190 trilyun rupiah tersebut bisa dialihkan untuk program kemiskinan dengan cara menaikkan harga BBM. Sementara, anggaran untuk program kemiskinan hanya 60 trilyun rupiah.

Jika itu yang menjadi alasan pemerintah, sekali lagi, mengapa kemudian kenaikan harga BBM selalu disambut dengan protes dari berbagai kelompok masyarakat? Bahkan setelah pemerintah menjalankan program kompensasi BBM untuk rakyat miskin melalui pendidikan, kesehatan dan penyedian pangan, tetap saja terjadi penolakan. Seolah rakyat tidak menyadari bahwa kenaikkan harga BBM ini bertujuan untuk menegakkan keadilan ekonomi dan membantu rakyat miskin.

Nampaknya, pemerintah harus menelaah dan melihat lebih dalam lagi penolakan masyarakat terhadap kenaikkan harga BBM dan mengambil langkah-langkah tepat mengatasi penolakan tersebut. Terdapat berbagai kemungkinan penjelasan terhadap gejala ini. Pertama, rakyat belum yakin benar pemerintah dapat mengendalikan dampak dari kebijakan ini terhadap kenaikkan berbagai kebutuhan hidup. Yang dirasakan rakyat adalah bahwa kenaikkan harga BBM tersebut akan semakin menambah beban ekonomi yang sudah berat berupa kenaikkan harga kebutuhan sehari-hari. Kedua, rakyat belum yakin bahwa program kompensasi BBM akan dapat mereka nikmati sebagaimana pemerintah janjikan. Ketiga, rakyat belum dapat menerima alasan keadilan yang melatarbelakangi kenaikkan harga BBM sebagaimana yang disampaikan pemerintah. Rakyat masih melihat bahwa masih banyak yang pemerintah bisa lakukan untuk mengurangi beban anggaran selain kenaikkan harga BBM dan rakyat juga melihat berbagai bentuk ketidakadilan kebijakan ekonomi yang selama ini mereka alami sama sekali tidak pernah diatasi dengan serius.

Kajian Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) 2005 tentang dampak kenaikkan harga BBM terhadap masyarakat miskin dan Indeks Harga Konsumen (IHK) membuktikan kenaikan harga BBM (semua jenis BBM) sebesar 5 persen, misalnya, akan meningkatkan IHK naik sebesar 3,6 persen. Juga menyebabkan peningkatan jumlah masyarakat miskin di desa menjadi 1,30 persen, sedangkan jumlah penduduk miskin kota akan meningkat sebesar 2,76 persen. Semakin tinggi persentase kenaikkan harga BBM, semakin tinggi pula lonjakan IHK dan jumlah masyarakat miskin.

Studi Oktaviani (2005) dengan menggunakan metode Computable General Equilibrium (CGE) memberikan hasil yang sama. Kenaikan harga BBM akan menyebabkan kondisi rumah tangga menjadi lebih buruk dibanding sebelum adanya kenaikan harga BBM. Pendapatan rumah tangga miskin di desa dan kota pun menurun dengan cepat karena terjadi penurunan upah dan sewa modal. Secara umum rumah tangga yang hidup di bawah garis kemiskinan menjadi meningkat.

Mengapa ‘rakyat miskin’
Pemerintahan sebelumnya juga pernah menaikkan harga BBM dengan alasan subsidi akan diberikan pada ’rakyat miskin’. Tetapi dalam praktiknya, justru ‘rakyat miskin’ tetaplah terbebani kenaikan harga BBM tersebut, dan bahkan menambah jumlah mereka yang miskin dan hidup di bawah garis kemiskinan.

‘Rakyat miskin’ di negeri ini sejak dulu hingga kini menjadi objek negara. Negara yang seharusnya memihak kepada mereka justru melakukan perselingkuhan dengan kelompok tertentu untuk keuntungan pribadi. Kondisi tersebut di atas lebih diperkeruh lagi dengan pernyataan para menteri kabinet SBY-JK yang menganggap enteng dampak kenaikan BBM terhadap rakyat miskin.

Coba simak pernyataan Menko Kesra Aburizal Bakrie dan Menteri Perdagangan Marie Pangestu bahwa dampak kenaikan harga BBM sangat kecil bagi rakyat miskin. Ini keyakinan yang sungguh sangat menyakitkan dan menyesatkan. Nyatanya beban rakyat miskin bertambah berpuluh kali lipat dari itu, bahkan sangat banyak yang kesulitan makan tiga kali sehari.

Ada dua hal penting dalam pernyataan tersebut. Pertama, pemerintah tidak memahami nasib rakyat miskin bahkan fakta dan data tentang kemiskinan. Padahal, jumlah rakyat Indonesia yang pendapatannya jauh di bawah UMR masih sangat banyak, dan ada sekitar 20 juta orang yang berada di bawah garis kemiskinan. Kedua, pernyataan tim ekonomi pemerintah sangat menyederhanakan masalah dan tidak sesuai fakta. Juga menunjukkan sikap ketergesa-gesaan dalam mengambil keputusan. Ketiga, pemerintah telah mengabaikan data bahwa bagi rakyat miskin, 100% pendapatannya digunakan untuk konsumsi. Bagi kelompok ini, tidak ada cadangan atau tabungan yang dapat digunakan untuk menutupi defisit pendapatan akibat kenaikan harga BBM selain dengan berutang. Ini juga mengabaikan fakta yang disampaikan Menteri Kesehatan bahwa masih ada sekitar 6,3 juta jiwa yang tidak memiliki akses pada kesehatan gratis. Keempat, fakta ini menunjukkan masih rendahnya kemampuan pemerintah dalam mengelola kebijakan.

Apa Artinya bagi Rakyat Miskin
Retorika politik pejabat Negara seperti tersebut di atas, sejatinya menunjukkan betapa tidak sensitifnya mereka pada orang miskin di republik ini. Sangat menggampangkan kerumitan problem kaum miskin. Seolah semuanya selesai dengan kompensasi BBM dalam bentuk BLT. Ada kesan para pejabat pemerintah menepis fakta tentang nasib seorang anak balita keluarga miskin yang meninggal karena kelaparan di Makassar. Begitu juga nasib balita di Manado (Malendeng, Perkamil) yang meninggal karena kedua orang tuanya tidak mampu membiayai pengobatan anaknya di rumah sakit. Atau nasib seorang bapak bersama dua anaknya yang bunuh diri karena tekanan ekonomi. Belum lagi nasib jutaan orang lainnya yang tidak tercover oleh media atau temuan hasil riset selama ini.

Sekali lagi, rakyat miskin akan selalu menjadi “jualan” yang dikemas di balik kepentingan politik yang sesungguhnya tidak pro rakyat miskin. Negara telah gagal dalam melakukan kewajiban konstitusi untuk memenuhi, melindungi dan mempromosikan hak-hak rakyatnya.


0 komentar:

 
Namablogkamu is proudly powered by Blogger.com | Template by o-om.com