Kamis, 07 Agustus 2008

Kenaikan Harga BBM Untuk Siapa?.

. Kamis, 07 Agustus 2008

Edisi Mei 2008

Rio Ismail
Direktur Eksekutif
Ecological Justice Jakarta

Komunikasi politik soal kenaikan bahan bakar minyak (BBM) saat ini sunguh membuat bingung banyak orang. Apa yang disebut oleh Michael Foucault sebagai ”permainan bahasa” atau apa yang dimaksud Bennedict Anderson sebagai “manipulasi bahasa” atau “bahasa topeng” (politesse), dapat dibaca dan disaksikan secara atraktif di media cetak dan elektronik. Kesamaran yang disengaja, imbauan nilai, ambiguitas, metafora, dan eufemisme, menjadi cara komunikasi politik yang dihalalkan oleh pejabat pemerintah, politisi bahkan para pengamat saat berbicara soal kenaikan BBM. Beberapa hari terakhir, komunikasi politik soal BBM sudah berubah menjadi apa yang disebut oleh Antonio Gramsci sebagai political coercion atau politik kekerasan.

Awalnya Menko Kesra Abu Rizal Bakri (Ical) mengatakan kenaikan BBM akan menurunkan angka kemiskinan dari 16% menjadi 14%. Lalu Wapres Jusuf Kalla melempar pernyataan menarik: jangan hanya melihat orang yang antri BBM tetapi, lihat juga yang antrian di bioskop dan bandara. Artinya, menurut Wapres ada peningkatan kesejahteraan, dan oleh karena itu antrian di bioskop dan bandara juga signifikan untuk dihitung. Bagi JK, masalah kemiskinan adalah realitas media: menjadi ada dan diada-adakan karena pemberitaan media. Sabtu, 24 Mei 2008, Wapres Jusuf Kalla mengubah pesannya menjadi: polisi harus menindak yang berdemo menolak kenaikan BBM.

Benarkah permainan bahasa ala Ical? Atau benarkah faktualkah metafora Jusuf Kalla? Bukankah janji dan permainan bahasa seperti ini sudah sering disampaikan oleh pemerintah pada setiap ada kenaikan harga BBM? Lebih dari 50% rumah tangga di Asia termasuk Indonesia sebagai konsumen BBM (A.J.Surjadi, CSIS 2005). Bagaimana mungkin kenaikan ini tidak berpengaruh terhadap mereka? Yang pasti siapa saja bisa percaya pada pernyataan dan data pemerintah, tetapi tidak seorang pun yang bisa menutup mata tentang jutaan orang yang tidak bisa hidup layak karena kenaikan harga barang dan jasa. Perencanaan sosial dan realitas sosial tidak selalu bisa dihitung secara matematis seperti menghitung berapa jumlah suara dalam Pemilu.

Matarantai Kolonialisme
Laporan BPS tahun 2006 menunjukkan bahwa BBM bukan merupakan faktor penyebab dominan terhadap kemiskinan. Namun setiap ada kenaikan harga BBM, dampak kemiskinan selalu terjadi. Ada pa sebetulnya yang terjadi? Jika ditelusuri lebih dalam, masalahnya tidak sekedar berapa banyak yang hidupnya tergantung pada BBM. Problem utamanya adalah struktur pengelolaan migas yang masih tetap berwatak kolonial. Kita kaya minyak dan mengkonsumsi minyak dalam jumlah banyak kekayaan minyak bukan lagi milik kita. Karenanya setiap ada pergeseran harga, akan selalu berdampak terhadap kemiskinan.

Sejak abad 19 “emas hitam” ini sudah dikuasai oleh Koninklijke Nederlandsche Maatschappij tot Exploitatie van Petroleum-bronnen in Nederlandsch Indie, Shell Transport and Trading Company, Caltex, Chevron, dan belakangan Texaco, British Petroleum, Chivron, ConocoPhilips, Total, France-Based Oil Company, Halliburton, PetroChina dan beberaap perusahaan lainnya termasuk Medco Indonesia, milik Arifin Panigoro. Sudah 62 tahun merdeka, matarantai kolonialisme ini masih berlanjut melalui hubungan perdagangan, dimana kekuasaan atas modal mengendalikan kekuasaan politik rakyat.

Soekarno memang berusaha memutuskan watak ekonomi kolonial, namun gagal bahkan pada tahun 1950 masih mewarisi utang pemerintah Belanda sebesar 6,3 miliar dollar AS, terdiri dari utang warisan Hindia Belanda 4 miliar dollar AS dan utang luar negeri baru 2,3 miliar dollar AS. Seoharto malah mengintegrasikan sistem ekonomi dengan matarantai neo-kolonialisme. Caltex dan ExxonMobil oil, dan Chevron merupakan beberapa pemain utama yang diberi ruang sebagai kompensasi atas dukungan Amerika terhadap rejim Soeharto. Rejim berikutnya tetap memperpanjang matarantai ini, bahkan menambah dengan sederet perusahaan lainnya. Sejumlah politisi dari partai dominan di parlemen pun ikut menjadi bagian dari matarantai ini.

Pertamina menjadi pendamping perusahaan asing dan menghasilkan booming oil. Namun pada tahun 1972, Pertamina mulai terlilit utang sebesar 30 juta dolar AS. Tiga tahun berikutnya akumulasi utang mencapai 10 milyar dolar atau 30% dari GDP Infonesia. Pertamina berkembang menjadi sarang korupsi dan sapi perahan rejin Soeharto. Situasi ini kemudian membuka peluang bagi perusahaan asing untuk menguasai pengelolaan migas. Pemerintah akhirnya melakukan restrukturisasi utang Pertamina dan mengubah sistem kontrak kerja (Contract of Work) dengan perusahaan asing menjadi kontrak bagi hasil (Production Sharing Contract). Posisi pertamina makin melemah bahkan kehilangan akses dan kontrol terhadap migas. Lebih berfungsi sebagai administratur bagi berbagai perusahaan multi nasional yang beroperasi dibawah tekanan lobi pemerintah Amerika dan sejumlah negara industri.

Dalam kurun waktu 1975-1985, bagi hasil Pertamina dari total produksi hanya 7%, dan naik menjadi 30% pada 1990. Aktor utama yang mengeruk keuntungan adalah 20 perusahaan asing yang umumnya berbasis di USA. Namun dalam waktu 12 tahun kemudian, bagian yang diterima Pertamina malah molorot menjadi 3,3% (Hendro Sangkoyo, 2003). Beberapa tahun terakir angka bagi hasil naik lagi. Angka penawaran yang diajukan pemerintah Indonesia selalu berkisar 60% untuk Indonesia dan 40% untuk perusahaan ansing. Namun hasil akhir perundingan biasanya bagian yang diterima Indonesia lebih kecil. Bahkan apabila tidak ada kesepakatan antara Pertamina dengan kontraktor, proses penentuan harga biasanya ditingkatkan menjadi goverment to goverment (G to G) antara. Namun demikian Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) malah menyebutkan Pertamina sebetulnya hanya mengusai 15% hingga 20% dari kontrak pengelolaan minyak. Selebihnya dikuasai oleh sekitar 107 perusahaan asing dan swasta yang memperoleh proteksi dari pemerintah.

Kepentingan Siapa?
Sejak booming oil pada tahun 70-an misalnya, Indonesia memiliki 60 blok cadangan hidrocarbon yang dimiliki Indonesia. Diantaranya 15 blok dalam tahap eksploitasi, 15 tahap eksplorasi, 22 belum diapa-apakan, dan 8 blok diestimasikan sebagai cadangan gas dan minyak. Diperkirakan ada 8 milyar barrel minyak dan 26 miliar barrel gas alam cair di perut bumi Indonesia, selain 20 miliar barrel minyak dan gas yang sudah diekstraksi dalam 3 dekade terakhir (Hendro Sangkoyo, 2003). Data yang berbeda dilansir oleh Menteri ESDM pada 12 Mei 2008. Ada 40 blok ladang minyak yang siap ditawarkan kepada pengusaha. Selain itu, pemerintah sudah menandatangani kontrak dengan Cevron untuk mengelola gas di kawasan Kalimantan Timur. Perusahaan ini menguasai 80% hasil pengelolan gas dengan total nilai investasi awal 311, 6 juta dolar Amerika.

Beberapa waktu lalu Front Pembenasan Nasional mengemukakan data yang berbeda. Indonesia memiliki sekitar 392 blok atau sumber minyak dan gas dengan lahan seluas sekitar 95 juta hektar. Dengan cadangan minyak sekitar 250-300 miliar barrel, total produksi minyak mentah 1 juta barrel perhari atau 159 juta liter perhari. Namun situs Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM) Mei 2008 menunjukkan, produksi minyak mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Pada 2000 masih berkisar 517,415,969 barel, namun tahun 2007 tinggal berkisar 347,493,172. Di saat-saat selisih antara jumlah produksi dan kebutuhan yang tipis, kita malah mengekpor minyak sebanyak 127,134,792 barrel, lalu dalam waktu yang sama mengimpor lagi sebanyak 110,448,506.

Laporan pemerintah yang dikutip The Jakarta Post, 22 Mei 2008, menyebutkan, selang
Januari-April 2008, dari sekian banyak perusahaan kontraktor pemerintah, ada 12 perusahaan yang menghasilkan rata-rata 882,781 barrel perbulan atau 29,426 barrel perhari. Artinya dalam tahun 2008 hanya akan ada hasil produksi 1,593,372 barrel. Padahal berdasarkan target pemerintah, total perusahaan minyak harus menghasilkan 977,000 barrel perhari. Jika menggunakan asumsi jumlah lifting minyak di dalam APBN sebesar 910,000 barrel perhari pada harga 83 dolas AS per-barrel dengan kurs Rp 9,300, maka kemungkinan penghasilan minyak tahun ini akan mencapai Rp 252,874 trilyun. Apabila menggunakan patokan harga minyak internasional yang mencapai 135 dolar AS perbarrel, maka hasilnya akan mencapai Rp 411,301, 8 trilyun. Angka ini sudah mencapai hampir separuh dari total APBN 2008 sebesar Rp 926.228 trilyun. Masalahnya, dari total penghasilan migas hanya Rp 206,212 trilyun yang masuk APBN, termasuk di dalamnya pajak dan hasil penjualan gas alam sebesar Rp 29, 240 trilyun.

Tapi mengapa hasil seperti itu tidak masuk ke kantong kita? Inilah cerita yang sebenarnya: rentetan restrukturisasi ekonomi yang telah dipaksakan oleh IMF melalui sekitar 16 Letter of Intent (LoI) sejak 1997 sampai saat pemerintah menghentikan kesepakatan dengan IMF. Salah satu paket dalam restrukturisasi ini adalah penyesuaian struktural termasuk restrukturisasi pengelolaan minyak dan gas bahkan energi kelistrikan. Intinya adalah, perubahan kebijakan fiskal yang terkait dengan penghasilan migas, privatisasi pengelolaan sumberdaya mineral, dan akses yang lebih besar bagi perdagangan bebas dan investasi asing. Ini merupakan persyaratan bagi syarat pencairan pinjaman multilateral baik dari IMF maupun pinjaman bilateral.

Kebijakan ini berlanjut dengan adanya inisiatif pemerintah Amerika Serikat yang membantu membuat draft peraturan dan kebijakan minyak dan gas yang baru dan disampaikan pada parlemen pada oktober 2000. Draf ini yang kemudian menjadi Undang-Undang No.22 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Migas. Kebijakan ini akan meningkatkan kompetisi dan efisiensi dengan mengurangi peran perusahaan minyak dan gas milik pemerintah dalam bidang eksplorasi dan produksi. Sektor minyak dan gas yang lebih efisien akan menurunkan harga, meningkatkan kualitas produksi bagi konsumen, meningkatkan pendapatan pemerintah dan meningkatkan kualitas udara (http://www.usaid.gov/pubs/cbj2002/ane/id/497-013). Undang-undang ini yang kemudian meminggirkan Pertamina hanya menjadi salah satu pemain kecil dalam bisnis minyak yang berpengaruh terhadap kehidupan orang banyak.

Dalam hitungan bulan, pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) No.42 Tahun 2000 tentang Badan Pelaksana Kegiatan Hulu (BPH) Migas. Suatu badan yang dibentuk untuk memenuhi tuntutan IMF agar negara mengurangi perannya dalam bisnis migas. Hampir tiga tahun kemudian pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah No.31 Tahun 2003, yang menjadikan Pertamina sebagai persero (PT). Pertamina pun ”mengakhiri tugasnya” sebagai Badan Usaha Negara (BUMN) yang awalnya didirikan untuk mensejahterakan rakyat. Diikuti dengan pembentukan Badan Pengatur Hilir (BPH) Migas pada tahun 2003. Kebijakan ini menandai lengkapnya liberalisasi pada sektor migas dan memberikan keleluasaan kepada perusahaan multi nasional atau trans nasional untuk menguasai migas dari hulu hingga hilir.

Menurut pemerintah, liberalisasi sektor hilir migas membuka kesempatan bagi pemain asing, yang selama ini menguasai sektor hulu, untuk berpartisipasi dalam bisnis eceran migas. Liberalisasi ini diklem akan berdampak mendongkrak harga bahan bakar BBM yang selama ini disubsidi pemerintah. Alasannya, selama ini pemain asing enggan masuk ke sektor hilir harga BBM masih rendah karena disubsidi (Kompas, 14 Mei 2003). Setelah itu World Bank sempat menyurati Menteri ESDM dan meminta agar para pemain baru diberi akses menggunakan fasilitas-fasilitas produksi dan distribusi milik Pertamina. Jika tidak, para pemain baru yang akan datang tidak akan kuat bersaing dengan Pertamina yang terlanjur memiliki fasilitas yang cukup lengkap. Pemerintah memang menolak permintaan ini dengan alasan melindungi kepentingan Pertamina (Suara Pembaruan 23 Oktober 2003).

Dengan kondisi seperti ini, maka seberapa pun hasil ekspor minyak Indonesia dan berapa pun tingginya harga minyak dunia, hasilnya tidak akan banyak menambah kesejahteraan rakyat Indonesia. Dolar yang diperoleh dari ekspor dan impor minyak bahkan menjadi salah satu instrumen kebijakan yang mengakomodir tuntutan negara-negara kreditor agar Indonesia memiliki devisa yang bisa menjamin kelancaran pembayaran utang luar negeri. Disamping bagian terbesar dari keuntungan akan masuk ke kantong-kantor perusahaan multi nasional atau trans nasional yang menguasai sektor migas setelah adanya restrukturisasi ekonomi. Sebaliknya, semakin tinggi kebutuhan konsumsi BBM dan semakin tinggi harga BBM dalam negeri, semakin besar keuntungan berbagai perusahaan multi nasional atau trans nasional yang kini sudah menguasai pasar eceran. Ini juga identik dengan meningkatnya penghasilan para konglomerat nasional di bidang migas atau energi, yang kini juga menguasai panggung politik dan pemerintahan di Indonesia.

Dalam konteks ini siapa yang menikmati hasil minyak? Siapa yang menikmati kenaikan harga BBM yang berujung pada pemotongan subsidi sosial? Tidak lain sejumlah perusahaan asing yang mengelola sektor hulu. Juga Petronas, Shell, Total, Beyond Petroleum yang sejak 2003 sudah mendapatkan ijin untuk mengelola sektor hilir (Suara Pembaruan 27 Mei 2003) dan sekitar 97 perusahaan lainnya yang sudah mendapat ijin pada 2004 (Trust, 2004).

Andai seluruh kekayaan minyak adalah punya kita, maka kenaikan harga minyak internasional bisa membawa berkah. Andai kita tidak pernah mengubah sistem contract of work menjadi production sharing contract, maka seperti yang disitir pemenang Nobel 2007, Joseph Stiglitz dalam bukunya Making Globalization Work, 2006, hasil berlebih dari kenaikan harga minyak internasional diberikan kepada negara pemilik sumberdaya alam. Sebab perusahaan minyak dibayar untuk jasa ekstraksi dan pemasaran, dan harga sewa sumberdaya alam menjadi milik negara tersebut. Dan andai kita tidak melakukan restrukturisasi sektor migas menurut skema ekonomi global, negara tidak akan memotong subsidi BBM dan subsidi sosial lainnya. Sayangnya pemerintah Indonesia seperti tidak punya kuasa untuk mengubah hubungan kontrak atau hubungan ekonomi yang tidak adil ini. Kita memang tidak punya Hugo Chaves di Venezuela atau Evo Morales di Columbia yang punya posisi tawar dan berani menolak dijajah oleh perusahaan multi nasional atau kekuatan ekonomi global

0 komentar:

 
Namablogkamu is proudly powered by Blogger.com | Template by o-om.com