Selasa, 07 September 2010

Kembali Kepada Fitrah

. Selasa, 07 September 2010
0 komentar

Sulit sebenarnya memberikan gambaran yang utuh soal Idulfitri, sebab hari kegembiraan yang dirayakan secara rutin tiap tahunnya ini juga mengalami perkembangan seiring dengan perkembangan interaksi dengan perkembangan jaman. Idulfitri bukan hanya sekedar perayaan spiritualitas keagamaan, melainkan juga peristiwa social, cultural, ekonomi bahkan politik. Secara religious Idulfitri adalah moment ‘new born’ karena umat muslim yang sebulan penuh berjuang mengendalikan diri baik dari sisi fisik dan psikis (jiwa, dorongan nafsu keinginan, kemarahan, dll) agar tidak jatuh dalam godaan dan keberdosaan (dosa privat dan dosa public) telah tunai sehingga sampailah kembali kepada keadaan semula (suci).

Ekspresi kegembiraan, pencapaian dan paripurna atas laku ‘asketis’ (mati raga) ini makin hari makin gembita. Jauh sebelum hari raya tiba bahkan ketika puasapun belum dijalankan di media-media elektronik utamanya televisi gegep gempitanya mulai terasa. Ketika sebulan penuh kaum muslim menahan haus dan lapar, televisi justru kekenyangan ‘iklan’ karena aneka slot acara yang bertema ramadhan meski banyak yang isinya justru bertentangan dengan laku yang tengah dijalankan oleh mereka yang menyaksikannya.

Selama bulan ramadhan ini, server para provider telekomunikasi pasti juga kelelahan mengatur lalulintas komunikasi baik dalam bentuk percakapan, teks maupun gambar. Dan puncaknya di hari Idulfitri pasti sedetikpun tidak akan beristirahat karena lintasan ucapan selamat yang ingin segera sampai berjubel dalam kanal-kanalnya. Terimakasih kepada para provider karena telah membantu ruang silaturahmi tanpa batas. Dengan sms, mms,video chat dan layanan yang lain hambatan jarak, ruang serta hambatan lain bisa diatasi sehingga silaturahmi tetap terjalin sebagaimana mestinya.

Bagi saya, yang kebetulan terlahir di sebuah kota kecil di Jawa Tengah, mempunyai pengalaman yang panjang atas bulan ramadhan dan idulfitri. Meski rangkaian hari ini adalah ‘property right’ saudara-saudara saya yang muslim, namun tetap saja saya turut memiliki perayaan hari raya idulfitri sebagai peristiwa social dan cultural di daerah dimana saya dibesarkan. Meski saya tak turut berpuasa, tetapi bukan berarti saya tak boleh ikut dalam kegembiraan saudara-saudari yang menuntaskannya. Di hari ini tidak boleh ada orang yang terlihat sedih, kelaparan dan kehausan. Maka semua orang diajak untuk turut gembira, percaya diri, dan makan minum sepuasnya. Kegembiraan dan keberlebihan dibagikan untuk semua orang tanpa memandang siapa dia.

Andainya sikap dan perilaku tidak membeda-bedakan di hari yang fitri ini terus bisa dipertahankan niscaya negeri yang ‘gemah ripah loh jinawi’ ini akan menjadi ruang hidup dan kehidupan bagi seluruh warganya secara damai dan sejahtera bersama. Bukankah idulfitri yang kerap dirayakan berbeda hari, toh tidak mendatangkan persoalan. Warga NU dan Muhammadiyah (untuk menyebut dua yang besar, namun masih banyak yang lainnya) berkali-kali berbeda dalam menentukan hari raya idulfitri namun toh tidak membuat warganya berkonflik apalagi sampai terjadi pertumpahan darah. Semua saling menenggang rasa, menghormati pilihannya. Ini semakin membuktikan bahwa puasa yang dijalankan sebulan penuh bukan hanya melahirkan sebuah kesucian hati melainkan juga kedewasaan dalam beriman.

Adalah mustahil untuk memastikan bahwa kita tidak akan jatuh lagi dalam ‘keberdosaan’ di masa mendatang. Karena pada ghalibnya kita adalah mahkluk pendosa. Namun pendosa diantara para pendosa ini, yang terbaik adalah saat melakukan kesalahan mau untuk mengakuinya, bertobat dan meminta maaf untuk berjanji tidak mengulanginya lagi. Pengakuan dosa adalah bukti dari kesadaran atas kenyataan bahwa diri kita punya kecenderungan untuk terus berdosa. Padahal tugas kemanusiaan kita adalah mewujudkan kwalitas ‘ke –Allah-an’ lewat kebertubuhan kita. Ini merupakan proses yang terus menerus dan tanpa akhir, karena pada dasarnya kita memang tidak akan bisa mencapai kualitas yang sama dengan-NYA. Maka di hari yang Fitri ini tak ada satupun alasan yang membuat kita tidak memaafkan kesalahan yang dilakukan orang lain kepada kita, dan tidak ada satupun alasan juga yang membuat kita harus menahan meminta maaf atas orang-orang yang telah kita sakiti, khianati atau kecewakan.

Moment Idulfitri adalah moment transformasi, melakukan lompatan perkembangan kesadaran untuk lebih mau merasakan penderitaan orang lain, mendengarkan keluh kesah harapan dan aspirasi orang lain, mendengarkan suara peringatan orang lain. Moment tranformasi individu sebagian besar warga bangsa ini andai bisa ditransformasi menjadi ‘tobat nasional’ dan kemudian memayungi ruang public di Indonesia niscaya akan menjadi sebuah kekuatan besar untuk melahirkan Indonesia baru, Indonesia damai dan sejatehtera dalam jalan yang di-ridhoi oleh Allah.

Maka, wahai para pemimpin negeri ini, di hari yang Fitri ini janganlah terlalu sibuk untuk mempersiapkan ‘open house’ dan menunggu tetamu datang untuk ‘sungkem’ menghatur beribu permintaan maaf. Hendaknya anda semua datang kepada rakyat dan memohon ‘ampun’ beribu maaf karena belum mampu atau bahkan ingkar atas janji-janji perbaikan bagi negeri ini. Andai itu tidak dilakukan di hari yang fitri ini maka benarlah bahwa negeri ini hanya dipimpin oleh para idiot yang tak tahu diri.

Selamat hari raya idulfitri, mohon maaf atas segenap kesalahan di hari yang lalu termasuk di hari ini.

Dari saya yang tengah turut bersiap ikut merayakan Idulfitri di bumi Kawanua.

Klik disini untuk melanjutkan »»

Selasa, 26 Agustus 2008

LOM PLAI : Ritual Kecintaan Terhadap Long Diang Yun

. Selasa, 26 Agustus 2008
0 komentar

Nun jauh disana, kira-kira 341 km dari Samarinda, pondok-pondok darurat (Naq Jengea) telah didirikan di pinggiran sungai Wehea. Pernak-pernik hiasan juga telah digantungkan di sekeliling kampong. Kain-kain aneka motif Wehea juga sudah menghiasi rumah-rumah. Le Ji Taq, seorang kepala adat menghabiskan waktu seharian di dapur membantu istrinya memasak lemang. Paulus Timang, sang panglima perang yang sejak remaja memimpin tarian perang dengan setia mempersiapkan baju dan topi yang dikenal sebagai tepa untuk dipakai dalam pentas seksiang. Hari itu penduduk Wehea benar-benar sibuk. Sebentar lagi mereka akan memulai acara Erau Padi atau Lom Plai.

Ketika persiapan telah selesai semua, sang ketua adat masuk ke dalam rumah adat (Eweang) untuk membunyikan gong dan gendang. Bebunyian itu (Ngesea Egung) menjadi pertanda bahwa ritual Erau Padi atau Lom Plai telah dimulai.

Asal Usul Padi
Masyarakat Dayak di pedesaan dalam kehidupan sehari-harinya tak bisa dipisahkan dengan olah tanam secara tradisional yang dikenal sebagai perladangan berpindah. Sistem yang dipakai adalah dengan cara rotasi (ulang alik) yang bertujuan untuk tetap menjaga kesuburan tanah. Akhir-akhir ini, terutama saat ‘musim kebakaran hutan’ cara perladangan seperti ini kerap dituduh sebagai biang kebakaran hutan dan merusak hutan.

Selain aktivitas perladangan, penanda penting yang melingkupi kehidupan masyarakat Dayak adalah cerita mitologi. Mitos bagi mereka merupakan dasar dan norma tingkah laku yang mengingatkan serta menegaskan bahwa eksistensi mereka tidak terlepas dari peristiwa-peristiwa yang terjadi di masa lampau. Kepercayaan dan ketaatan pada apa yang terjadi sebagaimana diceritakan dalam mitos itu adalah bagian penting dalam lingkaran dan lingkungan kehidupan harian masyarakat Dayak.

Masyarakat Dayak Wehea, mengenal cerita tentang asal-usul padi. Kisahnya dimulai dari seorang yang bernama Diang Yung, seorang Hapui Ledoh (Pemimpin perempuan/ratu) yang mempunyai putri tunggal nan cantik jelita bernama Long Diang Yun. Pada masa pemerintahannya terjadi paceklik, kekeringan panjang sehinga banyak warganya meninggal dunia. Di sela tidurnya Sang Hapui bermimpi didatangi oleh Dohton Tenyei (Yang Maha Kuasa), yang memintanya untuk mengorbankan putri semata wayangnya jika ingin menyelamatkan kehidupan warganya. Saat terjaga dari tidurnya dalam hati Sang Hapui terjadi peperangan antara keinginan menyelamatkan masyarakatnya dan mempertahankan kehidupan putri tunggalnya yang sekaligus adalah penerus keturunannya. Dalam pertemuan dengan para tua-tua adat dan pemuka masyarakat diambil kesimpulan bahwa masyarakatlah yang harus diselamatkan.

Seluruh warga masyarakat dan para petinggi akhirnya berkumpul di alun-alun dan kemudian , Hapui Diang Yung menyembelih (mengorbankan) sang Putri Long Diang Yung yang sebelumnya didahului oleh sumpah dari seluruh masyarakat yang berbunyi :

• Manusia harus menyayangi padi seperti ia (sang hapui) menyayangi anaknya dan jangan bertindak kasar / durhaka terhadapnya.
• Padi adalah jelmaan anak Sang Hapui karena itu harus di Eraukan seperti Sang hapui melakukannya.
• Bagi orang yang memiliki padi dan menikmatinya serta taat kepada sumpah maka ia akan selamat, panjang umur, sejahtera dan makmur.
• Bagi yang melanggar sumpah maka ia akan celaka, ketulahan dan akan menderita sakit dan tidak panjang umur.

Segera setelah pengorbanan dilaksanakan suasana berubah menjadi gelap, awan hitam (mendung) menyelimuti daerah itu dan tak lama kemudian turun hujan yang sangat lebar. Timbulah keanehan dan keajaiban di tempat dimana sang putri dikorbankan. Disitu tumbuh serumpun padi yang terus meninggi hinggal mengeluarkan bulir-bulir yang menguning. Padi yang merupakan jelmaan dari sang putri ini akhirnya dinamakan Padi Ling Diang Yung, padi kemudian dituai dan terus dituai namun tidak pernah habis-habisnya sehingga seluruh masyarakat bisa mendapat bagian. Sejak saat itu dengan dikorbankannya sang putri yang kemudian menjelma menjadi padi masyarakat perlahan-lahan bisa membangun kemakmuran dan kesejahteraan hidupnya.

Kepercayaan yang begitu mendalam terhadap mitos ini terus dipertahankan oleh masyarakat Dayak Wehea dalam ritual Lom Plai atau Erau padi. Rangkaian ritual dalam Erau Padi ini dimaksudkan sebagai simbol rasa syukur kepada Putri Long Diang Yung yang kini dipercaya sebagai Dewi Padi.

Erau Padi Dayak Wehea
Suku Dayak Wehea, mempercayai bahwa mereka adalah suku Dayak pertama yang menginjakkan kaki di Borneo saat nenek moyang mereka bermigrasi dari China. Awalnya mereka hidup di daerah pesisir dan mencari penghidupan sebagai nelayan. Ketika terjadi migrasi kelompok suku lain ke Borneo mereka mulai terdesak hingga kemudian tersisih masuk dalam hutan (menjadi orang hulu), dengan demikian pola hidup mereka berubah karena mereka menjadi lebih dekat dengan kehidupan hutan dan sungai. Tatangan alam menempa baik fisik dan psikis mereka hingga akhirnya Suku Dayak dikenal sebagai suku yang berani dan trampil berperang, ahli berburu dan gemar berladang (tani). Suku Dayak Wehea adalah kelompok Dayak yang hidup di daerah aliran sungai Wahau atau kemudian sering diucapkan menjadi Wehea. Mereka kini tinggal di enam desa yang ada di kecamatan Muara Wahau, Kabupaten Kutai Timur.

Salah satu hal yang paling diingat oleh masyarakat luar Dayak dari orang Dayak adalah budaya mengayau. Dalam adat Dayak Wehea dikenal ritual Erau Kepala (Namlen). Ritual ini mengharuskan orang Wehea untuk mencari tumbal yaitu kepala musuh yang kalah dalam pertarungan. Pasukan kecil biasanya dibentuk untuk mencari musuh atau orang dari suku Dayak lainnya yang kemudian diburu untuk dipakai sebagai tumbal. Budaya mengayau atau memenggal kepala musuh untuk dipakai sebagai tumbal akhirnya hilang atau dilarang.

Era perburuan dan perang sudah berakhir, kegiatan bertani atau berladang akhirnya menjadi kegiatan yang sangat penting dan hampir memenuhi aktivitas keseharian mereka. Ritual yang berkaitan dengan pertanian menjadi ritual yang terus menerus dilakukan dan bertahan hingga sekarang. Lom Plai atau Erau padi adalah salah satunya. Lom diterjemahkan dari kata Erau, mengandung dua pengertian yakni mengantisipasi agar tidak sakit, selamat dan panjang umur, atau suatu usaha penyembuhan terhadap orang sakit.
Tujuan dari ritual yang biasa dilakukan setelah masa panen berakhir ini adalah agar masyarakat sehat, selamat, dan panjang umur, serta supaya pada musim tanam berikutnya, padi dan tanaman lain yang dibudidayakan oleh masyarakat terhindar dari hama dan penyakit, dan juga mendapatkan hujan yang cukup sehingga padi dan tanaman lainnya dapat tumbuh dengan subur serta memberikan hasil yang berlimpah kepada masyarakat. Ritual Lom Plai sendiri terdiri atas 17 rangkaian acara yang bisa berlangsung selama satu bulan.

Erau Lom Plai dimulai dengan memukul gong atau Ngesea Egung dan diakhiri dengan nyanyian doa untuk mengusir segala yang jahat dan mendoakan datangnya kehidupan yang lebih baik bersamaan dengan terbenamnya matahari atau Embos Epaq Plai.

Keramaian erau padi atau lom plai ditandai dengan tebaran api unggun di halaman dan jalanan depan pemukiman yang dipakai untuk membakar lemang. Lemang dimasak oleh kaum perempuan sementara pria menyiapkan pakaian perang dan topeng hudoq. Membakar lemang merupakan bagian dari acara penghormatan terhadap padi. Selain lemang perempuan Wehea juga membuat beangbit, sejenis kue yang terbuat dari campuran tepung beras dan gula merah yang juga dimasak dalam bambu.

Bunyi gong yang dipukul (Ngesea Egung) menjadi tanda dimulainya erau padi (lom Plai). Kaum laki-laki dengan seluruh perlengkapannya bersiap untuk menarikan tari Seksiang. Sementara itu kaum perempuan melakukan kegiatan lain yang disebut Embosmin yaitu sebuah ritual untuk pembersihan desa. Mereka berjalan keliling desa sambil membawa dupa dan mengucap berbagai matra dan doa agar desa mereka bersih dari gangguan segala roh jahat dan berbagai bentuk malapetaka. Siapapun yang ketahuan berjalan semaunya dalam ritual ini akan dikenakan denda adat.

Di tepian sungai keramaian memuncak, sebelum acara ini warga akan mendirikan pondok darurat (naq jengea) untuk beristirahat dan menyaksikan acara yang berlangsung disana. Sungai yang merupakan urat nadi kehidupan Suku Wehea karena disana tempat mereka mencari ikan dan menghayutkan rotan telah dipenuhi oleh perahu-perahu yang mengangkut warga yang berpakaian adat lengkap, membawa sumpit, mandau dan tameng. Di sungai akan dilakukan ritual seksiang. Penumpang perahu akan menepi dan mengambil rumput gajah, untuk dipakai sebagai tombak dan sumpit dengan anak sumpitnya butiran tanah liat. Ritual seksiang adalah pendramaan kembali adegan perang di jaman dahulu yang dilakukan diatas air atau dalam sungai dengan memakai perlengkapan perang berupa tombak Weheang yang ujungnya tumpul. Peserta ritual ini dengan perahu melakukan perang-perangan yang rutenya dari hulu ke hilir kampung. Para peserta yang terdiri dari dua kelompok saling ’tembak menembak’ sambil menjalankan perahu. Untuk memanaskan suasana kedua kelompok akan saling mengejek dalam bahasa Wehea sehingga emosi menjadi terpancing.

Ritual ini sangat ramai, keadaan di tengah sungai sungguh seru, seringkali ada perahu yang terbalik karena awaknya kena tombak. Penonton yang memadati pinggiran sungai juga tak kalah hebohnya, mereka terus berteriak dengan antusias untuk memberi semangat kepada teman-teman mereka. Seksiang ini merupakan gambaran dari suasana perang di jaman dahulu. Meski namanya perang, namun tetap ada aturan yang tidak tertulis yang tetap dihormati. Dalam perang dilarang memukul lawan yang sudah jatuh dan tidak berdaya. Perang juga dimulai dari kedatangan raja dari suku lain kepada suku yang hendak dikuasainya dengan cara meminta secara santun. Apabila tidak terjadi kesepakatan maka kemudian jalan kekerasan atau perang baru ditempuh.

Kunci dari ritual Seksiang ini adalah keseimbangan, sebab siapa yang dinyatakan kalah adalah mereka yang terjatuh dan perahunya terbalik. Mereka ini kemudian menjadi tawanan, namun bisa bebas apabila keluarganya menebus yaitu dengan memberikan lemang.

Setelah kampong dinyatakan “bersih “ dari roh jahat yang ditandai dengan selesainya barisan perempuan yang berkeliling kampong dan perang-perangan (seksiang) akan dilakukan siram-siraman. Seorang perempuan dewasa (Peknai) akan melakukan penyiraman kepada Tua Adat (Mengsaq Pang Tung Eleang – seorang tua adat disiram oleh gadis). Penyiraman ini melambangkan rumpun padi akan mendapat air yang cukup dengan datangnya musim hujan. Setelah itu warga akan saling menyiram. Mereka akan saling kejar, siapapun yang belum terkena akan terus diburu bahkan sampai di dalam kamar sekalipun. Kegiatan terus berlanjut dengan dilakukan beberapa acara lagi, seperti Nelha La (menggantung rumput), Entuem Pang Tung Eleang (menerobos ujung titian), Ngesea Egung (memegang rumput yang telah digantung), Laq Gues (mengambil tawanan), dimana dalam acara ini warga saling mencoreng arang atau abu pembakaran. Mereka melakukan ini dengan harapan ladang akan terbakar sempurna tanpa merusak hutan. Dan tanah mereka menjadi subur seperti arang. Ini berarti padi akan tumbuh subur diladang mereka. Ada pula acara makan bersama dengan menu yang beragam. Mulai dari lemang, ikan gabus, ikan patin, daging babi, dan berbagai sayuran yang disajikan di setiap rumah..

Puncak atau akhir dari perayaan Lom Plai adalah tarian Hudoq. Sebuah tarian yang dipercaya sebagai tarian memanggil jin yang akan membantu mereka menjaga kesuburan tanahnya. Kaum laki-laki akan menyiapkan pakaian untuk tarian ini. Setiap satu set baju tarian hudog dibutuhkan kurang lebih lima batang pohon pisang. Selain baju dari pohon pisang mereka juga akan memakai topeng yang berwujud muka binatang (topeng Hudoq Tonggup). Semua warga berkumpul di lapangan luas yang letaknya di pinggiran kampung. Tarian Hudoq selain dipercaya mendatangkan jin yang membantu kesuburan tanaman juga diyakini dapat menyembuhkan penyakit. Suku dayak Wehea meyakini tarian ini adalah tarian memanggil jin yang akan membantu menyuburkan tanaman. Tarian ini juga mereka yakini dapat menyembuhkan penyakit.

Tarian akan didahului dengan percikan darah segar oleh Panglima adat ke seluruh peserta penari. Tujuannya agar tidak ada yang menganggu jalannya prosesi. Jin yang dipanggil akan datang dari dalam tanah, air dan kahyangan. Penari akan menari dalam formasi mengelilingi lapangan dan perlahan gerakan mereka sudah mulai hilang kesadarannya. Tarian ini berlangsung ber-jam – jam sehingga membutuhkan kekuatan fisik yang prima, dimana dalam kondisi normal, orang akan sulit melakukannya.Bila hujan tidak turun, tarian ini barangkali akan berakhir hingga malam. Namun air hujan adalah pertanda baik, artinya ratu penguasa padi atau putri Long Dyang yung telah menerima persembahan mereka. Malam harinya, diadakan tarian Tumbambataq, Jiak Keleng, Ngewai dan Enluei untuk menghibur warga.

Seluruh rangkaian acara Lom Plai pun ditutup dengan prosesi Embos Epaq Plai yakni membuang hampa padi. Dalam bagian ini semua masyarakat berjalan menuju ke bagian hulu kampung dan secara perlahan berjalan ke arah hilir kampung dengan menyanyikan Doa. Setelah itu kampung kembali senyap, nyannyian dendang kidung Dayak Wehea yang disebut Nluei dalam nada tinggi, merintih dan tempo lambat tak terdengar lagi. Nluei adalah kidung penting yang mengiringi berbagai acara adat Wehea, tanpanya acara adat tak akan berlangsung dengan hikmad.

Wehea Menantang Perubahan
Erau padi sebagai manifestasi tradisi yang dimiliki oleh Suku Dayak Wehea sebenarnya merupakan sebuah pesan dan pelajaran soal bagaimana berhubungan, menghargai dan melindungi alam juga kehidupan. Dibalik upacara itu sesungguhnya tersimpan sebuah sistem pengetahuan dan kebijaksanaan yang telah teruji selama berabad-abad lamanya.

Namun waktu tidak sekedar hadir sebagai penanda pagi, siang dan malam sebab dalam pusarannya selalu terkandung sebuah perubahan yang bisa jadi membawa sebuah harapan yang mengembirakan tapi sekaligus juga sejuta kekhawatiran. Pak Ledjie, kepala adat suku Wehea di Desa Nehas Liah Biang mengatakan, upacara adat seperti Lom Plai ini secara perlahan sudah mulai tidak populer lagi di masyarakat dan terancam punah. "Kondisi ini terjadi bukan karena tidak adanya regenerasi, tetapi lebih karena aturan adat yang membatasi adanya prosesi yang tidak boleh diketahui sembarang orang terutama kaum muda. Jadi ya, tidak ada regenerasi," katanya. Namun terbukanya pilihan pekerjaan atau pencaharian di luar pertanian dan hutan juga turut membuat ikatan batin terhadap upacara adat semakin menurun. Mempertahankan adat dan kebudayaan serta lingkungan tempat tumbuh kembangnya juga bukan sebuah usaha yang gampang.

Sampai hari ini komunitas yang mengenal 30 varietas padi ini masih mampu menjaga kawasan hutan adat mereka. Adalah Ladjie Taq, kepala adat suku Wehea, bersama beberapa tokoh adat Wehea lainnya yang menetapkan aturan itu sejak tahun 2005. Dengan itu, hutan seluas 38.000 hektare yang terletak di Muara Wahau, Kutai Timur, Kalimantan Timur, tersebut resmi menjadi kawasan hutan lindung yang dijaga secara adat oleh masyarakat Dayak Wehea. Kawasan ini menyimpan tiga daerah tangkapan air di Seleq, Melinyiu, dan Sekung, yang bermuara di Sungai Mahakam. Maka adalah sangat beralasan jika masyarakat Wehea menjaga dengan teguh kawasan ini. Sebab kebanyakan orang Wehea masih menggantungkan hidup dari berladang. Mereka mengambil air untuk berladang dari Sungai Wehea yang bersumber dari mata air di hutan. Hutan adalah benteng dari bencana, sebab di musim hujan hutan menjadi daerah resapan air, sehingga sungai tak meluap menenggelamkan ladang dan desa.
Karena itu, kata Ladjie, hutan tak boleh dirusak. Warga Wehea hanya boleh memanfaatkan hutan secara terbatas. "Tak boleh sembarangan agar kekayaannya tetap lestari," ujar Ladjie. Pembatasan ini dituangkan dalam sebuah peraturan adat Nomor 01 Tahun 2005. Dalam peraturan adat itu diatur antara lain larangan menebang pohon untuk keperluan pribadi atau diperjualbelikan. Warga juga dilarang membuka lahan untuk kebun, ladang, atau peruntukan lain di kawasan hutan lindung. Selain itu, hewan dalam kawasan hutan tidak boleh diburu. Pohon boleh ditebang untuk keperluan pembangunan fasilitas umum, semisal balai desa. Hasil hutan lain non-kayu, seperti damar, rotan, buah-buahan, dan gaharu, juga boleh dimanfaatkan. Untuk hewan, babi hutan masih diperbolehkan diburu. Tapi semua itu baru bisa dilakukan setelah ada izin dari perangkat pemerintahan desa dan Badan Pengelola Hutan Lindung Wehea.

Siapapun yang melanggar aturan ini akan disidang secara adat. Hukumannya biasanya mengganti sesuai nilai pohon, hewan, atau kekayaan hutan lain yang diambil tanpa izin atau di luar yang ditentukan. "Misalnya, diizinkan berburu dua ekor babi tapi yang dibunuh tiga ekor, maka dia dihukum secara adat mengganti senilai seekor babi yang dibunuh di luar ketentuan," kata Ladjie. Jika keputusan adat tak tercapai, kepala adat akan membawa kasus itu ke aparat penegak hukum.

Masyarakat Wehea juga membentuk semacam kelompok patroli penjaga hutan yang disebut Petquq Mehuey. Kelompok ini terdiri dari 30 orang, bertugas mengawasi segenap areal hutan. Mereka dipilih setiap tiga tahun sekali, dan para anggotanya hanya bisa menduduki masa jabatan itu paling banyak dua periode.

Namun meski peraturan adat telah ditetapkan dan kelembagaan pendukungnya telah dibuat kekhawatiran masih tetap saja menyelimuti benak warga Wehea. Mereka tetap khawatir tidak bisa menjaga hutan dari kemungkinan masuknya investor untuk melakukan eksploitasi. Pasalnya status hutan lindung belum mendapat penetapan resmi dari negara (Departemen Kehutanan). "Kalau suatu saat ada perusahaan besar yang mengantongi izin dari pusat untuk membuka hutan Wehea, kami tak bisa berbuat apa-apa," tutur Ladjie.

Memang pemerintah kabupaten dan propinsi mendukung upaya masyarakat adat Wehea ini, namun apakah negara mengakui otonomi adat atas sebuah kawasan. Itu yang masih terus jadi persoalan. Dadang Imam Gozali dari Badan Pengelola Hutan Lindung Wehea menyatakan bahwa pihaknya sudah beberapa kali berkirim surat untuk meminta penetapan resmi kawasan Wehea sebagai hutan lindung dari Dephut, tapi tak juga ada tanggapan. Tanpa berburuk sangka, Dadang sempat mencurigai terkatung-katungnya status kawasan Wehea sebagai sebuah kesengajaan. Sebab konon di dalam kawasan ini terkandung kekayaan mineral berupa batubara. "Pernah ada tim dari ESDM meneliti dan menemukan batu bara kalori rendah," kata Dadang. Diperkirakan potensinya mencapai 10 juta metrik ton.
"Hutan adalah masa depan kami, untuk anak-cucu. Kalau hutan hancur, generasi kami juga hancur," kata Hatsong, tetua suku Dayak Ga'ai yang menghuni kawasan Lesan yang bersebelahan dengan kawasan suku Wehea. Tentu yang dimaksud dengan generasi bukan sekedar orangnya tetapi juga system pengetahuan, adat, kebudayaan dan kebijaksanaan yang telah dibangun turun temurun. Jika hutan hancur, maka besar kemungkinan kita tak akan lagi menyaksikan Lom Plai yang penuh makna dan kekhusyukkan. Jadi sesungguhnya hutan itu milik siapa?.

Klik disini untuk melanjutkan »»

Kamis, 07 Agustus 2008

Perjalanan Cincin Emas di Jari Anda

. Kamis, 07 Agustus 2008
1 komentar

Edisi Juli 2008

Sri Hardiyanti

APAKAH harga cincin emas 10 gram di jari Anda setara dengan biayanya? Nilai jual di pasar 45 Manado adalah Rp 2,8 juta. Ini memang masih tergolong mahal untuk orang miskin. Tapi cerita yang benar adalah harga cincin tersebut seharusnya lebih mahal dari itu.

Menurut kalkulasi Earthworks dan Oxfam Amerika, untuk memperoleh emas 10 gram, sebuah perusahaan tambang harus membuang 7,9 ton limbah batuan dan 18-20 ton limbah tailing mengandung bahan beracun dan berbahaya (B3) seperti merkuri, kadmium, arsenik. Ini belum termasuk 1.040 liter air yang digelontorkan, sekian hektar lahan dan sumber kehidupan rakyat sekitar yang diambil-alih atau dirusak, dan sekian luas hutan yang dibabat habis.

Untuk mendapatkan emas, dibutuhkan bahan-bahan kimia beracun seperti sianida dan merkuri. Semua itu pada akhirnya akan dibuang ke sungai, danau, laut, udara, dan mencemari air minum, sawah dan kolam serta mengganggu kesehatan baik pekerja maupun masyarakat setempat. Operasi pertambangan emas juga akan meninggalkan jejak kerusakan sosial, mengusir penduduk dari rumah mereka, dan menghilangkan sumber penghidupan mereka. Namun cerita ini tak pernah mengurungkan niat orang menggunakan emas. Bahkan tak menyurutkan hasrat perusahaan multi nasional maupun nasional untuk lebih banyak lagi mengeruk emas.

Selama ribuan tahun, emas telah mendapat tempat istimewa dalam pesta dan upacara. Namun sekarang, cara lama telah bertemu dengan konsep baru. Konsumen kaya di Shanghai dan Mumbai misalnya, merupakan konsumen yang selalu memicu kenaikan harga emas untuk perhiasan maupun mahar. Sementara Amerika Serikat tidak hanya negara dengan jumlah konsumen emas terbesar kedua dunia. Tapi juga pemegang kuasa pertambangan emas terbesar dunia yang menguasai sekitar 8,134 ton emas senilai USD 122 miliar yang juga sangat menentukan harga emas dunia (New York Times, October 24, 2005).

Pada Maret 2008, harga emas dunia naik mencapai USD 1.000 per-ons. Kenaikan terus-menerus seperti ini juga berbanding dengan kenaikan jumlah eksploitasi emas oleh perusahaan-perusahaan multi nasional yang beroperasi di berbagai negara miskin seperti Indonesia. Sebanding dengan peningkatan keuntungan perusahaan pertambangan emas. Dan, yang pasti berbanding terbalik dengan peningkatan biaya sosial yang harus dibayar masyarakat setempat dan risiko kehancuran lingkungan di mana pertambangan tersebut beroperasi. Berbagai laporan internasional menunjukkan selang 1995-2015, pasokan emas dunia bersumber dari berbagai wilayah/tanah adat di berbagai belahan dunia, yang dibiarkan miskin setelah emasnya dijarah. Tragisnya, 80% di antaranya dihabiskan untuk perhiasan.

Petaka emas sebetulnya sudah menjadi masalah bagi rakyat Indonesia atau rakyat Sulawesi selama berabad-abad. Mulai dari kehadiran Nederland Mynbouw Maschapij (NMM) pada 1887, Newmont Gold Company/Newmont Minahasa Raya (1993-2006) hingga perusahaan pemegang kontrak karya atau kuasa pertambangan generasi berikutnya seperti Meares Soputan Mining, Avocet, dan East Asia yang menguasai kawasan Minahasa Utara, Bolaang Mongondow, dan Sangihe saat ini. Penguasa rejim demokrasi yang menggantikan rejim feodal tempo doeloe juga memperpanjang kemelut tambang emas. Bahkan ada yang “menyewakan” kekuasaannya kepada berbagai kelompok masyarakat yang tidak beruntung dalam pembangunan, alias penambang tanpa izin maupun kepada perusahaan-perusahan lokal pemburu emas.

Kisah tambang emas menjadi seperti episode dalam film Lord Of The Rings, yang menghadirkan cincin sebagai suatu kutukan. Sumberdaya mineral di Indonesia tidak bermanfaat untuk meningkatkan kesejahteraan tetapi menghancurkan lingkungan dan masyarakat di lokasi sumberdaya mineral itu berada. Tak ada perlindungan hukum, tak ada pahlawan, tak ada kesaktian Amdal, dan tak ada lelehan ekonomi yang menolong situasi di kawasan pertambangan. Miris rasanya melihat bagaimana begitu banyak emas diambil dan dihasilkan di tengah-tengah kemiskinan dan degradasi lingkungan di sekitar kawasan pertambangan.

Lalu, adakah pertambangan yang ramah lingkungan? Pertanyaan ini menggoda banyak orang mulai dari kalangan pengusaha sendiri, pemerintah bahkan aktivis lingkungan dan hak azasi. Sulit menjawabnya karena ensiklopedi, kamus, dan catatan sejarah sudah dipenuhi dengan cerita tambang yang menghancurkan. Hukum dan kebijakan kita memang punya kosa kata tentang ramah lingkungan dan adil, tapi tak punya roh tentang itu.

Pertambangan ramah lingkungan saat ini memang hanya ada dalam tradisi leluhur di berbagai wilayah yang berburu emas sekadar pelengkap upacara. Dan karena dalam konteks tradisi, maka pengelolaannya tidak pernah dilakukan dengan cara menghancurkan lingkungan dan entitas sosial di mana tradisi itu berpijak. Tetapi mungkinkah itu? Di sinilah dilemanya. Ekstraksi emas sudah bergeser jauh menjadi komoditas yang tidak hanya bernilai ekonomi tinggi, tapi juga sudah menjadi sumber kekuasaan.

Tak banyak pilihan dan juga tak banyak cerita sukses pertambangan ramah lingkungan atau tambang yang adil dan peduli rakyat. Semua ini tidak perlu membuat kita berhenti berpikir, apalagi berhenti berbuat. Komitmen, keberanian dan kecerdasan sangat diperlukan untuk menghadang petaka di balik kemilau emas. Setidaknya, kenyataan harga cincin emas yang identik dengan marjinalisasi rakyat dan penghancuran lingkungan seharusnya membuat kita malu. Atau bisa membuat setiap orang say no terhadap pertambangan atau lebih berani menolak kegiatan pertambangan.

Klik disini untuk melanjutkan »»

Menimbang Harga Taman Nasional Bogani Nani Wartabone

.
0 komentar

Edisi Juli 2008

Herman Teguh

Taman Nasional Bogani Nani Wartabone (TNBNW) tak cuma punya hutan. Perut buminya juga mengandung emas. Hutan menjaga tata air supaya sawah-sawah di Lembah Dumoga tak kekeringan. Tapi emas adalah logam mulia. Harganya mahal melebihi kayu dan beras (per satuan berat). Lantas, apa yang terjadi dengan TNBNW? Kemilau emas ternyata mengalahkan hijau hutan. Tak peduli apakah kawasan itu dilindungi Pemerintah, ratusan hektar hutannya dirusak, puluhan kilometer sungainya dicemari, semuanya demi mendapatkan emasnya. Pertanyaannya yang menarik, mana yang lebih berharga; emas atau taman nasional?

Ada sekitar 5000 orang (Data BTNBNW 2007) yang tengah menambang dalam Taman Nasional di bagian Dumoga, dan ini menggerakkan operasi dari sekitar 1.000 tromol (perkiraan diturunkan dari angka total 1.850 tromol untuk seluruh Bolmong menurut data Bapedalda Bolmong 2006). Jika masing-masing tromol menghasilkan rata-rata 0,3 gram emas/hari dan harga emas Rp 200.000/gram, maka nilai emasnya adalah Rp. 60 juta per hari, atau Rp. 18 miliar per tahun (dengan asumsi 25 hari kerja per bulan).

Sekarang berapakah nilai TNBNW? Andaikan TNBNW adalah sebuah mesin yang mengendalikan tata air untuk sawah-sawah di sepanjang Sungai Dumoga. Nilai TNBNW dengan begitu akan diduga lewat produksi berasnya. Saat ini, air dari TNBNW mengairi sawah seluas 32.000 ha di Dumoga, yang menghasilkan 167.114 ton beras per tahun (kira-kira 57% dari total produksi Bolmong atau 34% dari total produksi Sulut). Bila angka ini dirupiahkan menurut harga pembelian pemerintah (HPP) yang Rp. 4300/kilogram, maka nilainya adalah Rp. 718,6 miliar per tahun.

Karena produksi beras adalah jasa dari wilayah DAS Dumoga dalam kawasan TNBNW, maka produksi emas juga harus dihitung dari wilayah yang sama. Dalam hal ini, harus dianggap bahwa seluruh wilayah DAS Dumoga yang ada dalam kawasan TNBNW menghasilkan emas. Karena areal PETI yang ada sekarang diasumsikan hanya meliputi 5% dari total luas DAS, maka nilai emas untuk seluruh DAS berarti harus 20 kali lipatnya, atau Rp. 360 miliar. Dari perhitungan sederhana di atas, walaupun seluruh DAS dijadikan areal tambang emas, nilai emas yang diperoleh pun masih di bawah nilai beras.

Tentu saja, perhitungan di atas hanya gambaran kasar, yang belum memperhitungkan banyak hal lainnya, seperti perubahan nilai emas atau beras akibat inflasi, nilai tukar, nilai ekologi dan hidrologi serta faktor depresiasi lingkungan. Sebaliknya risiko penambangan emas juga tidak kecil karena kegiatan ini selalu menggunakan bahan beracun berbahaya (B3) seperti merkuri. Zat-zat ini dapat tersebar mengikuti aliran air, dampaknya dapat meluas keluar dari areal-areal PETI hingga mencemari rantai makanan. Biaya untuk menanggulanginya seharusnya dipotong dari nilai emas yang didapat, dan kalaupun diperhitungkan, nilainya selalu lebih besar dari hasil eksploitasi.

Sesungguhnya TNBNW juga memberi kontribusi terhadap tata air yang menghidupi sekitar 40.000 ha lahan perkebunan, ratusan hektar kolam ikan, dan sumur-sumur warga yang tinggal di kawasan Dumoga. Manfaat ini belum dimasukkan dalam perhitungan tersebut, termasuk manfaat TNBNW sebagai ”ladang air” terbesar di Sulawesi.

Terkait dengan wisatawan, kamar-kamar untuk pengunjung di kompleks Wallacea memang tidak dipasangi AC. Tapi pengunjung tetap merasa nyaman. Mengapa? Karena hutan di sekeliling kompleks mensuplai kamar-kamar itu dengan udara segar dan sejuk. Tapi seandainya hutan itu ditebang, Balai TNBNW tentu harus memasang AC di setiap kamar agar kenyamanan itu kembali. Biayanya tentu tak sedikit. Dengan jumlah kamar yang 10 buah saja, dan setiap kamar membutuhkan mesin AC ½ pk, total biayanya sudah mencapai Rp. 20 juta (harga mesin AC disini Rp. 2 juta/buah). Ini baru pengadaan alat, belum biaya servis dan operasionalnya.

Kemampuan TNBNW untuk meredam banjir juga harus dihitung. Nilainya bisa diduga misalnya dari total nilai investasi yang dilindunginya di sepanjang aliran sungai Dumoga. Dan ini bisa milyaran rupiah karena terdiri dari jembatan, jalan, serta bangunan-bangunan lain. Asumsi dalam hal ini, jika TNBNW digunduli dan sungai Dumoga mengalami banjir, semua bangunan itu akan rusak.

Tapi apakah nilai TNBNW hanya air dan udara bersih saja? Tidak. TNBNW menjalankan banyak sekali fungsi yang kebanyakan tidak kentara. Memang rasanya mustahil untuk mencatat semua jasa yang diberikan. Tapi coba bayangkan, sejumlah tanaman buah ternyata tak akan berbuah tanpa pertolongan serangga atau satwa-satwa tertentu dari dalam TNBNW. Durian misalnya, tak akan berbuah tanpa bantuan penyerbukan dari kelelawar-kelelawar tertentu.

Fungsi yang lain yaitu mendaur zat-zat hara untuk kesuburan tanah, menyediakan obat-obatan, bibit tanaman, dan juga menyediakan ciri serta sifat-sifat tertentu yang dibutuhkan oleh ahli-ahli genetik untuk menghasilkan bibit unggul. Jika semua nilai seperti ini kita tambahkan ke nilai sawah dan beras di atas, sangsikah kita untuk mengatakan bahwa emas lebih bernilai dari TNBNW?

Nilai TNBNW memang kebanyakan tak bersifat cash. Lebih berupa “investasi”, yang bunganya akan dinikmati manusia dalam bentuk jasa lingkungan jangka panjang dengan nilai yang terus-menerus melampaui harga pasar. Sebaliknya, emas bukan sumberdaya yang bisa dibarukan. Lewat rantai perdagangan, logam mulia ini akan mengalir ke luar Dumoga, dan pasti akan habis. Pada saat itu, orang boleh saja membayangkan bahwa Lembah Dumoga sudah makmur. Tapi jangan lupa, gaya hidup boros, kejam, dan merusak alam di areal-areal tambang rakyat sekarang, justru hanya akan mewariskan kemiskinan, kekerasan, dan bencana alam di masa depan. Tidak pernah ada bukti sejarah bahwa pertambangan menghadirkan kemakmuran.(Periset data: Meilyn Pathibang, Karel Polakitan, Raymoond Mudami)

Klik disini untuk melanjutkan »»

Carut Marut Regulasi Pertambangan - Mengancam Keberlanjutan Lingkungan

.
0 komentar

Edisi Juli 2008

Fary SJ Oroh

DI Indonesia, kemilau emas benar-benar mempesona. Persoalan lingkungan pun diabaikan. Bukti teraktual adalah manuver kalangan pengusaha tambang dan politisi di DPR yang berusaha menggolkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Mineral dan Batubara (Minerba). Belum lagi soal pemberlakuan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 2 Tahun 2008 awal Februari lalu. PP ini melegalisasi penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan, dengan kompensasi pengusaha membayar pungutan non pajak.

Pemerhati lingkungan menilai RUU Minerba berpotensi menghancurkan lingkungan dan menyingkirkan rakyat dari berbagai wilayah yang memiliki deposit mineral. Sebaliknya kalangan pengusaha tambang menilai RUU ini tidak memberikan keleluasaan menggunakan kawasan lindung. Lain halnya dengan PP No.2 Tahun 2008. Meskipun memperberat beban biaya atau pungutan, namun kalangan pengusaha tidak memprotes. Bahkan sebaliknya gembira karena berapapun nilai pungutan, toh PP ini telah memberikan legitimasi untuk beroperasi di kawasan hutan.

Dalam PP No. 2 Tahun 2008, hutan yang memiliki fungsi ekonomi dan ekologis yang begitu luar biasa, dibanderol dengan angka kompensasi Rp 1,2 juta hingga Rp 3 juta per hektar per tahun. Artinya, satu meter luasan hutan lindung nilainya hanya sekitar Rp 300, meski pemerintah kemudian menjelaskan bahwa masih ada pemasukan ke kas negara yang lebih besar di luar poin kompensasi tersebut.

GANJALAN PERTAMBANGAN
Undang-undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan memang sudah sejak lama menjadi ‘duri dalam daging’ para investor pertambangan. UU ini dinilai sebagai ganjalan utama investasi pertambangan di Indonesia. Tak heran berbagai upaya dilakukan untuk menyiasati UU ini. Celah pun diciptakan melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No. 1 Tahun 2004 yang kemudian ditetapkan menjadi UU No.19 tahun 2004. Isinya menyatakan semua perizinan atau perjanjian di bidang pertambangan di kawasan hutan yang telah ada sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999, dinyatakan tetap berlaku sampai berakhirnya izin atau perjanjian dimaksud. Ini jelas menganulir pasal 38 UU No.41 Tahun 1999 yang melarang penambangan terbuka di kawasan lindung.

Seakan belum cukup, pemerintah kemudian mengeluarkan Keppres No. 41 Tahun 2004, yang melegalkan 13 perusahaan tambang beroperasi di hutan lindung, termasuk PT Inco di Sulsel, Sulteng dan Sultra, PT Antam di Sulsel, Sultra, dan Maluku Utara. Anehnya, pada Agustus 2004 pemerintah menelorkan UU No.21 Tahun 2004 tentang Ratifikasi Protokol Cartagena, protokol tentang perlindungan keanekaragaman hayati.

Di Sulawesi Utara, tidak satu pun dari tujuh perusahaan pemegang kontrak karya yang mendapatkan keleluasan dari pelaksanaan UU No.19 tahun 2004 dan PP No.2 tahun 2008 ini. Namun demikian, kelonggaran yang terdapat pada kedua regulasi ini masih tetap memberi ruang bagi PT MSM, PT Avocet dan PT East Asia untuk beroperasi.

GODAAN INVESTASI
Investasi merupakan alasan utama pemerintah melegalkan berbagai usaha pertambangan. Ini antara lain didukung dengan UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal untuk mengganti UU Nomor 1 Tahun 1967 dan UU No.11 Tahun 1970 tentang Penanaman Modal Asing. Dengan UU ini pengusaha mendapat kemudahan Hak Guna Usaha selama 95 tahun yang dapat diperpanjang di muka sekaligus selama 60 tahun dan dapat diperbarui selama 35 tahun. Juga Hak Guna Bangunan selama 80 tahun, serta Hak Pakai selama 70 tahun yang dapat diperpanjang dan diperbarui.

Peluang investasi tambang sebetulnya sudah dibuka sejak adanya Keputusan Presiden (Keppres) No. 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung. Jika di kawasan lindung terindikasi adanya deposit mineral, air tanah dan kekayaan lainnya, maka kegiatan pertambangan di kawasan lindung diizinkan. Celakanya, jika ada masyarakat yang mengelola sumberdaya alam berdasarkan kearifan mereka, alasan mempertahankan kawasan lindung sering dipakai untuk mengusir warga.

Kalangan pemerintah sendiri mengakui ada tumpang tindih regulasi. Marly Gumalag, Kasubdin Pertambangan Umum Dinas Pertambangan dan Energi Sulut, dan Sonny Runtuwene, Kasubdin AMDAL BPLH Sulut juga mengeluhkan hal ini dalam Round Table Discussion (RTD) Yayasan Lestari di Manado bulan ini. “Jadi memang dari pemerintah sendiri terkesan ada keragu-raguan,” kata Gumalag. Hal yang sama juga menjadi kesimpulan Temu Komunikasi PSDA Sulawesi yang digelar Yayasan Lestari bulan ini di Palu.

MASALAH WAKTU
Dengan dibukanya peluang melakukan usaha tambang di kawasan lindung, maka alih-fungsi kawasan lindung di berbagai daerah di Indonesia tinggal menunggu waktu. Di Sulawesi Utara dan Gorontalo, kalangan pengusaha dan sejumlah politisi ngotot menggolkan sejumlah pertambangan. Gubernur Gorontalo, Fadel Muhammad pun sangat antusias mendorong beroperasinya PT Gorontalo Minerals dan PT Gorontalo Sejahtera Mining yang berlokasi di Taman Nasional Bogani Nani Wartabone (TNBNW). Lain lagi bagi Gubernur Sulut SH Sarundajang dan Gubernur Sulawesi Tengah H.Bandjela Paliudju. Gubernur Sarundajang memang menolak pengoperasian PT Meares Soputan Mining (MSM) maupun PT Avocet, namun membiarkan eksplorasi PT East Asia di Sangihe. Gubernur Paliudju pun juga menolak kehadiran perusahaan tambang skala besar namun tak berdaya menghadapi pertambangan skala kecil tapi massif, yang memperoleh kuasa pertambangan dari para Bupati.

Besarnya potensi emas di TNBNW tidak hanya mengundang minat perusahan besar. Tetapi juga penambang perorangan maupun kelompok, yang dijuluki penambang liar, sungguhpun mereka selalu membayar pungutan resmi kepada aparat Pemkab Bolaang Mongondow. Perkiraan Balai TNBNW tahun 2007 penambang yang beroperasi di lahan seluas 591,5 ha di kawasan ini mencapai 11.200 orang. Pemkab Bolaang Mongondow sendiri, dengan alasan PAD, terkesan membiarkan perkembangannya. Padahal proyeksi perolehan APBD 2008 dari sektor ini hanya berkisar Rp 800 juta saja.

Kehadiran penambang rakyat memang memberikan penghasilan bagi rakyat dan kontribusi bagi PAD. Namun keberadaannya berdampak buruk terhadap manusia. “Yang diperlukan adalah bagaimana menghentikan pasokan merkuri. Namun harus dipikirkan dengan matang karena menyangkut hajat hidup orang banyak,” kata Sonny Runtuwene.

Carut marutnya regulasi pertambangan merupakan masalah serius. Hal ini sangat sulit diatasi apabila kepentingan ekonomi masih saja menjadi pilihan utama yang mengabaikan kepentingan keadilan ekologi. (Tim Periset: Arief Hariyadi, Erick Rarumangkay, Reymoond Mudami, Karel Polakitan, Meilyn Pathibang, Kabut Awansyah, Rio Ismail).

Klik disini untuk melanjutkan »»

Pertambangan di Kawasan Lindung : Memanen Bencana Permanen

.
0 komentar

Edisi Juli 2008

Reymoond "kexie" Mudami

‘’Ekonomi modern rakus dan tamak. Ia menelan gunung yang diselimuti pohon, danau, sungai, serta segala sesuatu di permukaan dan di perut bumi, lalu mengubahnya menjadi gunung rongsokan, limbah, sampah, dan lubang-lubang galian yang menganga’’. (Novelis AS, Edward Abbey (1927-1989), menuliskan pesan ini dalam The Monkey Wrench Gang dan karya nonfiksinya, Desert Solitaire).

PETANG yang agak lengang di sebuah kedai kopi kota Tahuna Kabupaten Sangihe Juni silam. Pitres Mangudis (41) uring-uringan, wajah pria asal Tabukan Selatan Sangihe itu acap tegang di sela percakapan yang melibatkan puluhan warga yang sebagian besar aktivis lingkungan. Mangudis salah satu yang terusik dengan kabar bakal beroperasinya tambang emas di wilayah itu. Baginya, SDA tak bisa ditukar dengan apapun terlebih kegiatan yang bisa mengancam kelestarian, ‘’Biar mo kase satu miliar le, kita tetap tolak pertambangan dan memilih melestarikan alam Sangihe, baiknya Pemda menggarap potensi lain untuk PAD,’’ sembur aktivis LSM Camar itu.

Mangudis dan kegusarannya adalah sekeping fakta dari rangkai besar kisah pertambangan yang centang-perenang selama ini. Nasibnya tidak berbeda jauh dengan ribuan warga yang tersingkir dari areal pertambangan PT Newmont Minahasa Raya (Minahasa Tenggara), PT Meares Soputan Mining (Minahasa Utara), dan PT Inco Tbk (Sulsel, Sultra dan Sulteng). Mengalami kekerasan, pencemaran dan kehilangan sumber penghasilan dan sumberdaya genetik.

JEJAK KOLONIAL
Pertambangan di Indonesia dimulai berabad-abad lalu. Namun pertambangan komersil baru dimulai pada zaman penjajahan Belanda, diawali dengan pertambangan batubara di Pengaron- Kalimantan Timur (1849) dan pertambangan timah di Pulau Belitung (1850). Pada awal abad ke- 20, Belanda mulai melakukan penambangan di lokasi lainnya di Sumatera dan Sulawesi. Pada 1928, bauksit di Bintan, dan tahun 1935 nikel di Pomalaa-Sulawesi. Menjelang 1967, pemerintah Indonesia memberlakukan sistem kontrak karya (KK) pertama kepada PT. Freeport Sulphure (sekarang PT. Freeport Indonesia).

Di Sulut, perusahaan pertambangan emas milik Belanda, Nederland Mynbouw Maschapij (NMM), mulai menguasai wilayah Mesel, Nibong, Leon, dan Lobongan pada 1887 (kini wilayah pertambangan PT Newmont Minahasa Raya/NMR). NMM mengakhiri operasinya pada tahun 1921. Mengantongi emas 5.000 kilogram emas, dan meninggalkan cerita kekejaman dan penghancuran sumber-sumber kehidupan. Juga beberapa lubang bekas tambang sebagai simbol kerusakan lingkungan, dan sebuah bangunan batu, yang biasa disebut metsel (dari Bahasa Belanda) atau dalam dialek lokal disebut mesel. Di wilayah ini PT NMR juga mengulang episode cerita lama itu. NMM maupun NMR hanya berbeda pada sejarah kehadiran, tetapi keduanya merusak dan dibela habis-habisan oleh penguasa dan para elit politik pada zamannya.

Pada awal 80-an, pemerintah menyebutkan 80% wilayah Sulut mengandung deposit emas. Data Dinas Pertambangan dan Energi Sulut (2008) menunjukkan, kegiatan pertambangan emas legal maupun tanpa izin menyebar dari Kota Bitung hingga perbatasan Gorontalo. Setidaknya ada 7 korporasi pemegang kontrak karya dan kuasa pertambangan yang menancapkan bor ke bumi Sulawesi Utara, di antaranya PT Meares Soputan Mining, PT Tambang Tondano Nusa Jaya, PT Newmont Minahasa Raya, PT Avocet Bolmong dan PT Tambang Sangihe. Termasuk dua perusahaan yang akan mengambil-alih sebagian kawasan Taman Nasional Bogani-Nani Wartabone di wilayah Gorontalo, yaitu PT Gorontalo Minerals dan PT Gorontalo Sejahtera Mining. Belum lagi kegiatan tambang lainnya seperti WPR Alason, PT Ratok Mining, CV Chandra CS, CV Air Mas, PT HW Rumansi, PT Limpoga Jaya, WPR Tobong, WPR Mintu, KUD Perintis dan WPR Monsi. Yang cukup mencengangkan kegiatan serupa berderet di banyak tempat (lihat data di halaman Palakat).

Di Kabupaten Bolmong pada awal tahun 80-an, kawasan Tobongon, Mintu, dan Lanut telah digarap oleh kurang lebih 19.000 penambang. Tambang memang telah memberi nafkah bagi ribuan warga yang tidak beruntung dalam proses pembangunan. Namun tragisnya, penambangan tanpa izin (PETI) sudah masuk ke TNBNW, dan menghadirkan dampak kerusakan atau bencana lingkungan bagi warga di kawasan hilir. Penambangan seperti ini pun telah berkembang jauh menjadi “areal perburuan” emas yang diorganisir oleh pengusaha dan politisi yang didukung oleh pemerintah. Luasan areal yang digarap mencapai 591,5 ha dengan jumlah penambang 11.200 orang. Belum terhitung sekitar 350 ha yang bakal dijadikan WPR.

RUSAK PERMANEN
Dampak penambangan sering dianggap ‘soal kecil’. Padahal, biaya sosial ekologis jauh lebih besar dan jangka panjang, serta memiliki daya rusak besar dan permanen terhadap manusia maupun alam. Laporan Human Rights Watch 2001 pun memaparkan keterkaitan antara kemiskinan, perusakan sumber daya alam, pelanggaran hak-hak asasi manusia dengan konflik. Hampir semua konflik, horizontal maupun vertikal, dari Aceh hingga Papua, bermuara pada perebutan sumber daya alam.

Penelitian Yoshinori Murai (2005) memperlihatkan, konflik di Kalimantan Barat jauh melampaui isu etnisitas. Kegiatan pertambangan dapat mengubah bentuk bentang alam, merusak dan menghilangkan vegetasi, menghasilkan limbah tailing maupun batuan, serta menguras air tanah dan air permukaan. Olfried Karlos, aktivis Elung Banua Tamako, Sangihe juga melihat fakta di sekitarnya bahwa pertambangan lebih banyak mudaratnya ketimbang manfaat. Kekuatiran Karlos dipicu oleh mulai terasa hawa ‘persinggungan’ antarwarga biasa dengan warga pekerja eksplorasi tambang Sangihe. ‘’Makanya lebih baik tambang emas jangan dilaksanakan di daerah ini,’’ sarannya.

Saat ini ada 158 perusahaan tambang, yang memiliki konsesi di kawasan lindung, meliputi luasan 11,4 juta hektar, tersebar di 85 kabupaten dan 26 propinsi. Dalam tulisannya tentang ‘Masa depan Investasi Pertambangan Indonesia’ Achmad Aris mengatakan kegiatan eksplorasi yang profit oriented berpotensi mendatangkan ancaman bagi peradaban manusia. Limbah tailing dari proses pertambangan yang mengandung bahan beracun berbahaya (B3) mercury, cadmium, arsenic dan cyanide merupakan ancaman terbesar bagi semua bentuk kehidupan. Sebuah Tim yang dipimpin Prof. Dr. Rizald M.Rompas MAgr maupun Badan Pengendali Dampak Lingkungan (Bapedal) dan Pusat Penelitian dan Pengelolaan Sumberdaya Alam (PP-PSDA) Unsrat Manado pada Oktober dan Desember 1999 misalnya, pernah menemukan kandungan mercury dan arsenic di ujung pipa pembuangan limbah PT Newmont Minahasa Raya di Teluk Buyat. Berbagai peneliti juga menemukan mercury dalam skala massif di wilayah pertambangan rakyat yang menggunakannya sebagai bahan baku pemisah emas di berbagai wilayah di Sulawesi Utara.

TAK SEBANDING
Analisis valuasi ekonomi antara tambang dan hutan lindung menunjukkan bahwa nilai ekonomi hutan lindung yang berkelanjutan, dua kali lipat dari pada nilai ekonomi tambang yang hanya sementara. Hutan lindung memberikan nilai manfaat ekonomi sebesar Rp. 265,5 miliar/tahun, sementara tambang dan HPH hanya memberi manfaat sebesar Rp.121,3 miliar/tahun, atau hanya setengahnya.

Simak hitungan lain yang ditulis Maria Hartiningsih dalam Harian Kompas 6 Maret 2008. Biaya pemulihan untuk mengaktifkan fungsi ekologi dari hutan alam yang menjadi tanah rusak, sebesar Rp 27,892 triliun untuk 6.000 hektar yang digunakan sebuah perusahaan atau Rp 4,648 miliar per hektar. Semua itu belum termasuk kerusakan yang sulit dipulihkan. Karena itu, banyak negara menghentikan izin pertambangan baru.

Hardrock Mining on Federal Lands, US Bureau of Land Management (2000) mencatat, salah satu tambang timbal (Pb) yang beroperasi pada zaman Romawi Kuno masih mengeluarkan sisa air asam sampai 2.000 tahun kemudian. Di Australia, biaya merawat air asam bekas tambang mencapai 60 juta dollar AS per tahun, dan perawatan tambang telantar 100.000 dollar AS per hektar, ditanggung oleh pajak rakyat. (Tim Periset: Arief Hariyadi, Erick Rarumangkay, Karel Polakitan, Meilyn Pathibang, Rio Ismail).

Klik disini untuk melanjutkan »»

Sistem Kita Belum Siap Mendukung Pertambangan Berkeadilan Lingkungan

.
0 komentar

Edisi Juli 2008

Dr. Ir. Rignolda Djamaludin, MSc

Eksploitasi sumberdaya mineral tidak menguntungkan Negara, kira-kira demikian salah satu hal yang dipermalahkan beberapa tokoh seperti Amin Rais, Kwiek Kian Gie dan masih banyak lagi. Yusuf Kala terakhir juga berpendapat agar semua kontrak karya korporasi besar ditinjau ulang. Hal tersebut ditempatkan terpisah dari tulisan ini.

Apakah kita pernah megetahui bahwa tambang di Indonesia tidak hanya, Freeport di Papua, Inco di Sulawesi, NHM di Halmahera, Newmont dan Meares di Sulut, Newmont di NTB. Ada 2559 perusahan tambang yang mengantongi izin beroperasi di berbagai tempat di Indonesia, data hingga tahun 2006, tidak termasuk izin yang keluar saat Otoda, migas dan galian C.

Kita mulai dari instrument Amdal, apakah ini sudah cukup memadai. Bedanya dengan dokumen Amdal yang lain hanya terletak pada informasi tentang geologi, lokasi dan teknik penambangannya. Hal lain mirip dengan dokumen Amdal reklamasi pantai, hotel, dll. Kelemahan seperti ini tentu sangat fatal.

Terkait Amdal pertambangan, penilaian resiko terhadap lingkungan harus memiliki kepekaan yang tinggi. Beberapa catatan penting, pertama ketika tahapan konstruksi dimulai maka akan ada perombakan bentang alam hingga sistem drainase dalam skala besar. Bila ini tidak masuk perhitungan maka bukan hal kontroversi bila kemudian terjadi banjir di daerah hilir diikuti kerusakan pada sistem das. Catatan sangat penting bahwa sistem das merupakan sebuah kesatuan eksositem, dan ini ada aturannya.

Batuan yang ditambang tentu kaya mineral, jika emas diambil yang lainnya tidak, meskipun beberapa perusahan juga mengambil beberapa mineral sekaligus. Sangat penting untuk mencermati komposisi mineral pada batuan yang ditambang. Pada kasus seperti di Buyat, ada argumentasi bahwa PT.NMR tidak menggunakan merkuri sebagai pengikat emas, yang benar bahwa merkuri berasal dari batuan, sebagian terlepas saat pemanasan dan lainya dibuang bersama limbah tailing. Logam berat yang lain seperti arsenik dan antimoni mengalami nasib yang sama.

Hinggi kini, dasar pengaturan kualitas tailing (berupa Kepmen LH) tidak dibuat atas dasar kajian yang memadai, bahkan dalam kasus seperti di Buyat, Kepmen LH yang ditandatangani Pak Sonny Keraf menjadi hal yang diperdebatkan. Begitu juga dengan tailing itu sendiri, apakah ini limbah cair atau padat. Hingga kini Pemerintah belum membuat aturan tentang kualitas sedimen.

Bagaimana dengan sistem kontrol, apakah hal ini sudah memadai. Ada Inspektur Tambang (ESDM/Dinas Pertambangan) ada juga pihak LH/BPLH atau Bapedalda, masing-masing dengan tugasnya. Dalam banyak kasus Inspektur Pertambangan selalu seia-sekata dengan perusahan tempat bertugas, LH/BPLH atau Bapedalda tugasnya hanya menerima laporan RKL/RPL sebagai syarat administratif saja. Juga penting untuk dicatat bahwa sebuah lokasi pertambangan memberlakukan sistem sekuriti yang luar biasa. Jangan heran bila hanya pihak ‘tertentu’ yang dizinkan mendekati wilayah seperti ini.

Lingkup tutup tambang secara umum terlalu disederhanakan sebatas reklamasi dengan penghijauan. Pada kasus tambang terbuka (open pit), lobang galian utama dibiarkan terbuka, hampir sama kondisinya dengan sistem dam tailing di darat. Curah hujan yang tinggi, guncangan akibat gempa bumi menjadikan tempat-tempat tersebut sangat beresiko jebol. Terbentuknya air asam tambang yang sangat berbahaya mencemari lingkungan sekitar sama sekali tidak masuk dalam skenario tutup tambang, padahal pembentukannya bisa terjadi jangka panjang dan sering sangat sulit diperhitungkan.

Bila ada persoalan lingkungan akan muncul kontroversi, tim-tim independen, dst. Lepas dari persoalan ‘moral’, pengetahuan tentang dampak aktivitas pertambangan terhadap lingkungan sangat sulit berada dalam sebuah konsensus pengetahuan (scientific consensus). Dalam kondisi Indonesia, kita memiliki keterbatasan dana ketika diperhadapkan dengan tuntutan untuk memenuhi kriteria kemutahiran teknologi (peralatan). Untuk hal yang satu ini tentu bisa dipenuhi dengan mudah oleh perusahan. Banyak juga studi independent akhirnya harus menggunakan peralatan perusahan dalam aktivitasnya.

Sistem dalam banyak aspek ternyata harus dibenahi dan dipersiapkan terlebih dahulu bila kita ingin mewujudkan pertambangan yang berkeadilan lingkungan.

Aktivis Lingkungan Hidup di Perkumpulan Kelola

Klik disini untuk melanjutkan »»
 
Namablogkamu is proudly powered by Blogger.com | Template by o-om.com