Edisi Mei 2008
Fary SJ Oroh
Pemerintah pusat memberikan ’hadiah manis’ bagi masyarakat Indonesia, bertepatan peringatan 100 tahun Kebangkitan Nasional, yakni kenaikan harga BBM. Seperti yang bisa diduga, kenaikan BBM memicu amarah masyarakat. Di Manado misalnya, Front Mahasiswa dan Solidaritas Aksi Rakyat Bersatu melakukan demo besar-besaran menuntut agar pemerintah membatalkan rencana kenaikan BBM. Mereka juga menuntut agar pemerintah mempertahankan subsidi untuk rakyat banyak, menghentikan pembayaran hutang ke kreditor asing, mencabut tunjangan untuk pejabat tinggi dan membuka akses keuangan bagi rakyat miskin.
Hal senada diungkap Front Mahasiswa dan Rakyat Bersatu di Manado, gabungan sejumlah elemen seperti PMKRI, LMND, HMI-MPO, PMII, GMNI, HMI-DIPO, YDRI, Publika, LBH Manado, Tri Prasetya, Petani Tombasian dan Karondoran, Pakorba, dan Persatuan Ojek Karombasan. Mereka menuding pemerintah mengkhianati rakyat. Pemerintah lebih mementingkan penyediaan biaya dan fasilitas pejabat, membayar utang luar negeri dan korupsi. ”Pemerintah tidak punya hati. Hanya bisa memeras kekayaan rakyat tetapi tidak bertanggungjawab terhadap penderitaan rakyat,” demikian ungkapan kesal yang terlontar di mana-mana.
Sungguh keterlaluan. Dalam situasi rakyat mengalami krisis pangan dan biaya kesehatan yang tinggi, pemerintah membuat keputusan yang berdampak pada melambungnya harga-harga barang dan jasa. Ibarat sudah tergelincir, dilindas pula. Karena itu
di mana-mana warga menyatakan protes, bahkan tidak sedikit yang hanya bisa bersedih karena tidak mampu lagi berbuat apa-apa menghadapi keputusan pemerintah. ”Torang so nda tau mesti bekeng apa lagi untuk mengatasi kesulitan hidup,” keluh Gafrin Abudi, salah seorang pedagang kaki lima di pusat kota Manado.
Kalangan Organisasi non pemerintah seperti International NGO Forum on Indonesian Development (INFID), kontan menuding pemerintah melakukan politik pemiskinan terhadap rakyat Indonesia. Rakyat sudah sangat susah tetapi pemerintah seperti tak peduli. Apalagi dalam kwartal pertama tahun 2008 ini, pembiayaan sektor publik (melalui APBN 2008) telah dipotong sekurang-kurangnya 15% atas nama penghematan APBN. Karenanya, Direktur Eksekutif Walhi Sulawesi Utara, Yahya La Ode bahkan berani mengatakan, situasi ini merupakan bukti kegagalan pemerintah dalam mengemban tugasnya untuk mensejahterakan rakyat.
Optimisme Gubernur
Reaksi berbeda justru datang dari Gubernur Sulut SH Sarundajang. Kenaikan BBM dinilai tidak menimbulkan dampak buruk bagi warga Sulut. Karenanya Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara justru terlihat tenang-tenang saja. Seperti halnya Wapres Jusuf Kalla yang bicara optimis di mana-mana, Sarundajang juga menilai bahwa masyarakat Sulut akan survive meski kenaikan BBM mencapai 30 persen.
”Sulut memiliki lahan pertanian yang bisa dimanfaatkan untuk meningkatkan produksi pertanian, seperti jagung, kelapa, beras maupun hortikultura. Apalagi lahan pertanian di Sulut tidak dikelola swasta atau investor asing, tapi oleh warga Sulut sendiri,” katanya kepada media massa di Manado. Optimisme Sarundajang memang beralasan karena pemerintah pusat sudah merencanakan sejumlah program penanganan krisis. Yaitu bantuan langsung tunai (BLT) plus, cash for work, pemberian beras untuk keluarga miskin (raskin), subsidi minyak goreng hingga kelanjutan program bantuan operasional sekolah (BOS).
Namun demikian, banyak yang menilai Gubernur Sarundajang tidak berkaca pada pengalaman sebelumnya. Angka kemiskinan rakyat Sulut justru bertambah setelah ada kenaikan harga BBM tahun 2005. Jika semula hanya 8,28%, akhirnya melonjak menjadi 14,51% pada tahun 2006. Masih dalam rentetan krisis ekonomi setelah itu, menurut laporan Millenium Development Goals 2007, tingkat pengangguran terbuka usia 15-24 tahun di Sulut pada Februari 2007 adalah tertinggi di Indonesia, masih berkisar di atas 50%. Pertanyaannya adalah, mungkinkah masyarakat Sulut tidak akan mengalami masalah seperti pada tahun-tahun sebelumnya?
Tak berdampak?
Benarkah kenaikan harga BBM tidak akan berpengaruh terhadap masyarakat Sulut? Mengoptimalkan lahan pertanian, misalnya dengan menggarap lahan tidur seperti yang disitir Gubernur Sarundajang, tidak semudah yang dibayangkan. Untuk mengelolanya membutuhkan biaya produksi yang tentu saja tidak sedikit. Dari mana dananya? Dalam satu dekade terakhir ini para petani di Sulut baik petani ladang maupun petani cengkih sudah kesulitan dana untuk membiayai produksinya.
Beban warga akan bertambah karena Sulut belum termasuk dalam wilayah yang mendapat jatah bantuan langsung tunai (BLT), setidaknya untuk bulan Juni. Karena pada bulan Juni, baru sepuluh kota yang mendapat bagian, yakni Jakarta, Medan, Semarang, Surabaya, Bandung, Makassar, Banjarmasin, Kupang, Yogyakarta, dan Palembang.
Menunggu giliran tidak berarti merasa aman. Selain karena kuatir harga barang dan jasa akan melambung tanpa kendali, warga juga cemas dengan proses validasi calon penerima BLT plus. Digunakannya data tahun 2005 untuk masyarakat penerima BLT tahun 2008 ini juga menjadi masalah. Nurianty (25), warga Desa Munte Kecamatan Likupang Barat Kabupaten Minahasa Utara, punya pengalaman buruk soal ini. Keluarganya pernah menerima kucuran BLT tahun 2005/5006 melalui kantor pos. Namun setelah dua tahap, tanpa alasan yang jelas nama mereka dihapus dari daftar penerima. ”Petugas bilang torang pe nama so diblokir. Padahal kami sangat membutuhkan karena secara ekonomi kami tidak mampu. Anehnya banyak tetangga kami yang kaya, punya kebun kelapa, yang justru mendapat BLT,” tuturnya.
Nurianty bersuamikan seorang buruh bangunan yang harus menghidupi keluarga dengan susah payah. Ia adalah salah satu dari ratusan ribu warga lainnya yang penghasilan di bawah 1 dolar AS atau Rp 9,200 perhari, yang disebut oleh pemerintah sebagai keluarga miskin. Ketika pendataan calon penerima BLT dilakukan, Nurianty tidak pernah ditanyai. ”Petugas cuma tanya pa birman,” katanya. Nasib warga lainnya tidak lebih baik dari Nurianty. Bekerja seharian untuk penghasilan yang tidak cukup untuk makan tiga kali sehari bagi keluarga dengan dua atau tiga orang anak.
Pelangaran HAM
Nurianty pasti tidak sendiri. Jatah mereka jatuh ke tangan orang yang tidak berhak. Sama halnya dengan subsidi BBM yang jatuh ke tangan pedagang atau kelompok yang mampu. Nasib mereka dipastikan tidak akan berubah, karena pemerintah bersikeras menggunakan data tahun 2005 untuk menyalurkan BLT di tahun 2008. Artinya, hanya 127.295 keluarga di Sulut yang bakal mendapat hadiah uang tunai dari pemerintah di tahun ini. Padahal jumlah keluarga miskin di Sulut tahun 2008, menurut Media Indonesia edisi 08 Mei, berjumlah 145.449. Dengan kata lain, ada sekitar 18.154 keluarga miskin di Sulut yang terpaksa gigit jari karena oleh negara dinilai bukan sebagai masyarakat miskin.
Kondisi seperti ini menurut Direktur LBH Manado, Maharani Salindeho dan Deputy Direktur INFID, Dian Kartika Sari sebagai bukti kegagalan pemerintah Indonesia dalam pemenuhan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya rakyat Indonesia. Padahal pemerintah pada tahun 2005 telah meratifikasi kovenan hak ekonomi sosial dan budaya menjadi UU No. 11 Tahun 2005. Di mata INFID dan LBH Manado, keputusan menaikkan harga BBM di tengah-tengah kesulitan rakyat adalah pelanggaran HAM oleh negara.
Tindakan pelanggaran HAM ini tidak cukup dihadapi hanya dengan berdebat dan demo-demo kecil. Menurut Maharani, masyarakat yang dirugikan perlu menyatakan protes bahkan mosi tidak percaya kepada pemerintah. ”Sayangnya kita tidak punya instrumen hukum untuk mengadili pelanggaran hak ekonomi, sosial dan budaya. Tapi langkah hukum lainnya seperti permohonan judicial review terhadap keputusan pemerintah atau ajukan gugatan class action atas perbuatan melawan hukum oleh pemerintah bisa juga dilakukan. Walau pun kita semua tahu bahwa hukum terlalu mudah ditundukkan oleh kekuasaan,” katanya.
Kemurkaan para aktifis memuncak karena pernyataan Wapres Jusuf Kalla. Wapres menyebut tindakan mahasiswa dan berbagai kalangan yang memprotes kenaikan harga BBM sebagai upaya melawan kepentingan kaum miskin. ”Ini cara yang tidak etis dan bertendensi mengadu-domba aktifis dengan rakyat miskin seperti jaman Soeharto, ” kata Syarif dari Yayasan Dian Rakyat Indonesia (YDRI). Direktur Walhi Sulut, Yahya LaOde menilai, cara pemerintah yang menjual minyak mentah ke luar negeri dengan murah dan kemudian membelinya kembali dengan harga internasional yang mahal justru yang harus disebut sebagai tindakan tindakan melawan rakyat. ”Ini hanya memperkaya perusahaan asing dan menambah kerusakan lingkungan,” kata Yahya La Ode.
Wajar jika kemudian berbagai kelompok menuntut pembatalan keputusan menaikkan harga BBM. Subsidi BBM kepada rakyat miskin harus tetap diberikan tanpa mengubah harga minyak yang berlaku saat ini. Ada beberapa alternatif yang ditawarkan berbagai kelompok untuk menutupi keterbatasan dana APBN. Pertama, mendesak pemerintah meminta pemotongan jumlah utang dengan alasan selama ratusan tahun negara-negara industri yang kaya telah mengeksploitasi sumberdaya alam di Indonesia. Kedua, memotong tunjangan jabatan para pejabat tinggi dan anggota parlemen. Tuntutan lainnya menghentikan sikap boros energi di kalangan pemerintah dan membuka akses kaum miskin ke sumber pendanaan di perbankan. (far)
Fary SJ Oroh
Pemerintah pusat memberikan ’hadiah manis’ bagi masyarakat Indonesia, bertepatan peringatan 100 tahun Kebangkitan Nasional, yakni kenaikan harga BBM. Seperti yang bisa diduga, kenaikan BBM memicu amarah masyarakat. Di Manado misalnya, Front Mahasiswa dan Solidaritas Aksi Rakyat Bersatu melakukan demo besar-besaran menuntut agar pemerintah membatalkan rencana kenaikan BBM. Mereka juga menuntut agar pemerintah mempertahankan subsidi untuk rakyat banyak, menghentikan pembayaran hutang ke kreditor asing, mencabut tunjangan untuk pejabat tinggi dan membuka akses keuangan bagi rakyat miskin.
Hal senada diungkap Front Mahasiswa dan Rakyat Bersatu di Manado, gabungan sejumlah elemen seperti PMKRI, LMND, HMI-MPO, PMII, GMNI, HMI-DIPO, YDRI, Publika, LBH Manado, Tri Prasetya, Petani Tombasian dan Karondoran, Pakorba, dan Persatuan Ojek Karombasan. Mereka menuding pemerintah mengkhianati rakyat. Pemerintah lebih mementingkan penyediaan biaya dan fasilitas pejabat, membayar utang luar negeri dan korupsi. ”Pemerintah tidak punya hati. Hanya bisa memeras kekayaan rakyat tetapi tidak bertanggungjawab terhadap penderitaan rakyat,” demikian ungkapan kesal yang terlontar di mana-mana.
Sungguh keterlaluan. Dalam situasi rakyat mengalami krisis pangan dan biaya kesehatan yang tinggi, pemerintah membuat keputusan yang berdampak pada melambungnya harga-harga barang dan jasa. Ibarat sudah tergelincir, dilindas pula. Karena itu
di mana-mana warga menyatakan protes, bahkan tidak sedikit yang hanya bisa bersedih karena tidak mampu lagi berbuat apa-apa menghadapi keputusan pemerintah. ”Torang so nda tau mesti bekeng apa lagi untuk mengatasi kesulitan hidup,” keluh Gafrin Abudi, salah seorang pedagang kaki lima di pusat kota Manado.
Kalangan Organisasi non pemerintah seperti International NGO Forum on Indonesian Development (INFID), kontan menuding pemerintah melakukan politik pemiskinan terhadap rakyat Indonesia. Rakyat sudah sangat susah tetapi pemerintah seperti tak peduli. Apalagi dalam kwartal pertama tahun 2008 ini, pembiayaan sektor publik (melalui APBN 2008) telah dipotong sekurang-kurangnya 15% atas nama penghematan APBN. Karenanya, Direktur Eksekutif Walhi Sulawesi Utara, Yahya La Ode bahkan berani mengatakan, situasi ini merupakan bukti kegagalan pemerintah dalam mengemban tugasnya untuk mensejahterakan rakyat.
Optimisme Gubernur
Reaksi berbeda justru datang dari Gubernur Sulut SH Sarundajang. Kenaikan BBM dinilai tidak menimbulkan dampak buruk bagi warga Sulut. Karenanya Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara justru terlihat tenang-tenang saja. Seperti halnya Wapres Jusuf Kalla yang bicara optimis di mana-mana, Sarundajang juga menilai bahwa masyarakat Sulut akan survive meski kenaikan BBM mencapai 30 persen.
”Sulut memiliki lahan pertanian yang bisa dimanfaatkan untuk meningkatkan produksi pertanian, seperti jagung, kelapa, beras maupun hortikultura. Apalagi lahan pertanian di Sulut tidak dikelola swasta atau investor asing, tapi oleh warga Sulut sendiri,” katanya kepada media massa di Manado. Optimisme Sarundajang memang beralasan karena pemerintah pusat sudah merencanakan sejumlah program penanganan krisis. Yaitu bantuan langsung tunai (BLT) plus, cash for work, pemberian beras untuk keluarga miskin (raskin), subsidi minyak goreng hingga kelanjutan program bantuan operasional sekolah (BOS).
Namun demikian, banyak yang menilai Gubernur Sarundajang tidak berkaca pada pengalaman sebelumnya. Angka kemiskinan rakyat Sulut justru bertambah setelah ada kenaikan harga BBM tahun 2005. Jika semula hanya 8,28%, akhirnya melonjak menjadi 14,51% pada tahun 2006. Masih dalam rentetan krisis ekonomi setelah itu, menurut laporan Millenium Development Goals 2007, tingkat pengangguran terbuka usia 15-24 tahun di Sulut pada Februari 2007 adalah tertinggi di Indonesia, masih berkisar di atas 50%. Pertanyaannya adalah, mungkinkah masyarakat Sulut tidak akan mengalami masalah seperti pada tahun-tahun sebelumnya?
Tak berdampak?
Benarkah kenaikan harga BBM tidak akan berpengaruh terhadap masyarakat Sulut? Mengoptimalkan lahan pertanian, misalnya dengan menggarap lahan tidur seperti yang disitir Gubernur Sarundajang, tidak semudah yang dibayangkan. Untuk mengelolanya membutuhkan biaya produksi yang tentu saja tidak sedikit. Dari mana dananya? Dalam satu dekade terakhir ini para petani di Sulut baik petani ladang maupun petani cengkih sudah kesulitan dana untuk membiayai produksinya.
Beban warga akan bertambah karena Sulut belum termasuk dalam wilayah yang mendapat jatah bantuan langsung tunai (BLT), setidaknya untuk bulan Juni. Karena pada bulan Juni, baru sepuluh kota yang mendapat bagian, yakni Jakarta, Medan, Semarang, Surabaya, Bandung, Makassar, Banjarmasin, Kupang, Yogyakarta, dan Palembang.
Menunggu giliran tidak berarti merasa aman. Selain karena kuatir harga barang dan jasa akan melambung tanpa kendali, warga juga cemas dengan proses validasi calon penerima BLT plus. Digunakannya data tahun 2005 untuk masyarakat penerima BLT tahun 2008 ini juga menjadi masalah. Nurianty (25), warga Desa Munte Kecamatan Likupang Barat Kabupaten Minahasa Utara, punya pengalaman buruk soal ini. Keluarganya pernah menerima kucuran BLT tahun 2005/5006 melalui kantor pos. Namun setelah dua tahap, tanpa alasan yang jelas nama mereka dihapus dari daftar penerima. ”Petugas bilang torang pe nama so diblokir. Padahal kami sangat membutuhkan karena secara ekonomi kami tidak mampu. Anehnya banyak tetangga kami yang kaya, punya kebun kelapa, yang justru mendapat BLT,” tuturnya.
Nurianty bersuamikan seorang buruh bangunan yang harus menghidupi keluarga dengan susah payah. Ia adalah salah satu dari ratusan ribu warga lainnya yang penghasilan di bawah 1 dolar AS atau Rp 9,200 perhari, yang disebut oleh pemerintah sebagai keluarga miskin. Ketika pendataan calon penerima BLT dilakukan, Nurianty tidak pernah ditanyai. ”Petugas cuma tanya pa birman,” katanya. Nasib warga lainnya tidak lebih baik dari Nurianty. Bekerja seharian untuk penghasilan yang tidak cukup untuk makan tiga kali sehari bagi keluarga dengan dua atau tiga orang anak.
Pelangaran HAM
Nurianty pasti tidak sendiri. Jatah mereka jatuh ke tangan orang yang tidak berhak. Sama halnya dengan subsidi BBM yang jatuh ke tangan pedagang atau kelompok yang mampu. Nasib mereka dipastikan tidak akan berubah, karena pemerintah bersikeras menggunakan data tahun 2005 untuk menyalurkan BLT di tahun 2008. Artinya, hanya 127.295 keluarga di Sulut yang bakal mendapat hadiah uang tunai dari pemerintah di tahun ini. Padahal jumlah keluarga miskin di Sulut tahun 2008, menurut Media Indonesia edisi 08 Mei, berjumlah 145.449. Dengan kata lain, ada sekitar 18.154 keluarga miskin di Sulut yang terpaksa gigit jari karena oleh negara dinilai bukan sebagai masyarakat miskin.
Kondisi seperti ini menurut Direktur LBH Manado, Maharani Salindeho dan Deputy Direktur INFID, Dian Kartika Sari sebagai bukti kegagalan pemerintah Indonesia dalam pemenuhan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya rakyat Indonesia. Padahal pemerintah pada tahun 2005 telah meratifikasi kovenan hak ekonomi sosial dan budaya menjadi UU No. 11 Tahun 2005. Di mata INFID dan LBH Manado, keputusan menaikkan harga BBM di tengah-tengah kesulitan rakyat adalah pelanggaran HAM oleh negara.
Tindakan pelanggaran HAM ini tidak cukup dihadapi hanya dengan berdebat dan demo-demo kecil. Menurut Maharani, masyarakat yang dirugikan perlu menyatakan protes bahkan mosi tidak percaya kepada pemerintah. ”Sayangnya kita tidak punya instrumen hukum untuk mengadili pelanggaran hak ekonomi, sosial dan budaya. Tapi langkah hukum lainnya seperti permohonan judicial review terhadap keputusan pemerintah atau ajukan gugatan class action atas perbuatan melawan hukum oleh pemerintah bisa juga dilakukan. Walau pun kita semua tahu bahwa hukum terlalu mudah ditundukkan oleh kekuasaan,” katanya.
Kemurkaan para aktifis memuncak karena pernyataan Wapres Jusuf Kalla. Wapres menyebut tindakan mahasiswa dan berbagai kalangan yang memprotes kenaikan harga BBM sebagai upaya melawan kepentingan kaum miskin. ”Ini cara yang tidak etis dan bertendensi mengadu-domba aktifis dengan rakyat miskin seperti jaman Soeharto, ” kata Syarif dari Yayasan Dian Rakyat Indonesia (YDRI). Direktur Walhi Sulut, Yahya LaOde menilai, cara pemerintah yang menjual minyak mentah ke luar negeri dengan murah dan kemudian membelinya kembali dengan harga internasional yang mahal justru yang harus disebut sebagai tindakan tindakan melawan rakyat. ”Ini hanya memperkaya perusahaan asing dan menambah kerusakan lingkungan,” kata Yahya La Ode.
Wajar jika kemudian berbagai kelompok menuntut pembatalan keputusan menaikkan harga BBM. Subsidi BBM kepada rakyat miskin harus tetap diberikan tanpa mengubah harga minyak yang berlaku saat ini. Ada beberapa alternatif yang ditawarkan berbagai kelompok untuk menutupi keterbatasan dana APBN. Pertama, mendesak pemerintah meminta pemotongan jumlah utang dengan alasan selama ratusan tahun negara-negara industri yang kaya telah mengeksploitasi sumberdaya alam di Indonesia. Kedua, memotong tunjangan jabatan para pejabat tinggi dan anggota parlemen. Tuntutan lainnya menghentikan sikap boros energi di kalangan pemerintah dan membuka akses kaum miskin ke sumber pendanaan di perbankan. (far)
0 komentar:
Posting Komentar