Edisi Mei 2008
Raymond Mudami
ARNITA Tompomica (45 tahun) tertunduk lesu di dipan tua depan rumahnya yang lebih menyerupai gubuk di pinggiran pantai Kolongan Mitung Kecamatan Tahuna Barat Kabupaten Sangihe. Ibu rumah tangga ini tak memiliki mata pencaharian lain kecuali berharap hasil tangkapan suaminya yang melaut menggunakan katinting. Hidup terasa makin berat, apalagi harus memenuhi kebutuhan 4 orang anak yang masih kecil.
Saat informasi kenaikan bahan bakar minyak (BBM) meruyak di media bulan ini, kabar itu semakin tak populis di mata Tompomica.’’Selama ini so susah, no apalagi kalau BBM mo nae, so nentau mo ator bagaimana ini hidup. Torang pasti akan makin susah dan penuh utang , mestinya kwa pemerintah jangan kase nae itu BBM’’ keluhnya.
Tompomica hanyalah salah satu contoh potret tragik ratusan juta ibu rumah tangga dan warga kebanyakan di negeri ini yang terhenyak manakala pemerintah memastikan harus kembali menaikan harga BBM demi mengamankan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) agar tak terkuras oleh pos subsidi BBM. Arnita tidak berbeda jauh dengan nasib Selmi Salintiho (57), ibu 6 anak yang tinggal di Batu Tajam, Bolaang Mongondow Utara. Seperti tahun 2005, dana BLT yang diterima tidak pernah mencukupi biaya kehidupan bersama suami dan anak-anaknya yang hidup sebagai keluarga petani.
Selama ini, terdapat korelasi positif antara kenaikan harga BBM dengan meningkatnya penduduk miskin di Indonesia. Di Kabupaten Sangihe yang warganya banyak nelayan, Badan Pusat Statistik setempat melaporkan, sejak 2004 jumlah penduduk miskin terus mengalami peningkatan. Pada 2004 jumlah penduduk miskin di daerah ini 24.850 jiwa, 2005 menjadi 26.460 jiwa atau 13,85% dari jumlah penduduk. Pada 2006 melonjak menjadi 30.954 jiwa atau 16% dari jumlah penduduk (Buku Indikator Sosial Ekonomi Kabupaten Kepulauan Sangihe 2007). Rumah tangga miskin penerima Bantuan Langsung Tunai menurut PSE05 17.000 rumah tangga.
Sementara pada skala nasional menurut BPS pada tahun 2006, 1% pertumbuhan ekonomi hanya berkolerasi dengan penyerapan tenaga kerja sebanyak 48 ribu orang. Dengan demikian tahun 2008 akan terjadi ledakan kemiskinan yang pada tahun 2006 saja jumlahnya mencapai 128,94 juta orang.
HUTANG MENUMPUK
Seperti gerak gerbong kereta api, kenaikan BBM menyeret siapa pun menuju kemiskinan. kualitas hidup warga kian menukik. Penelusuran lapangan di sejumlah kawasan, Di berbagai tempat bisa ditemukan kesamaan cara warga menghadapi kenaikan BBM kali ini. Ungkapan koor ”hidop so lebe susah” atau berhutang kepada mereka yang punya uang menjadi pilihan paling klasik yang harus ditempuh. ’’Mo bagaimana le, salah-salah kwa mo pancuri, terpaksa makan apa adanya, dan pasti makin rajin ba utang pa tetangga yang punya doi,’’ sembur Ratna Mirah Warga Tolondadu Dua Kecamatan Bolang Uki.
Amelia Dumanu warga Kolongan Mitung Kecamatan Tahuna Barat Kabupaten Sangihe, Marce Lumingkewas Warga Tuminting Manado, dan para ibu rumah tangga yang tinggal sepanjang bantara Kali Tondano, merasa tidak punya banyak pilihan dalam menghadapi situasi.
Kalangan Ibu rumah tangga mengaku, ilmu gale-lubang-tutu-lubang terpaksa dipraktekkan agar roda ekonomi keluarga bisa terus diputar. Dumanu memberi hitungan kasar, sehari-hari di luar kebutuhan sandang, dia harus mengeluarkan biaya paling sedikit Rp 50.000 untuk konsumsi, artinya sebulan diperlukan Rp1.500.000. Angka ini masih di luar kebutuhan lain yang juga mestinya dipenuhi.
Sementara dibandingkan dengan kemampuan pendapatan suami hanya nelayan kecil jelas tak mencukupi. ‘’Makanya nda ada jalan lain ba utang pa birman sambil berharap kalau paitua so dapa ikang, jual baru tutup tu utang begitu terus,’’ kisanya.
Dalam sebulan hanya sekitar 15 hari efektif yang digunakan nelayan untuk melaut, itupun tak saban hari mendapatkan hasil. Kemampuan pendapatan rata-rata nelayan kecil seperti yang diakui Johan Sahitang nelayan asal Kampung Tidore berkisar Rp 700.000-an sebulan
Pengalaman serupa diakui nelayan di Bolmong Arman Tolondadu Dua Kec Bolang Uki, semalam ia harus butuh 25 liter minyak untuk melaut, sementara belum selalu mendapatkan hasil tangkapan yang maksimal. ‘’Harga ikan masih sulit dapat.. kadang kala kosong, pendapatan kurang.. biaya BBM terbuang percuma.. kalau boleh jangan dulu kase nae kawa itu minya ‘’ ujarnya.
Proporsi biaya untuk konsumsi yang cenderung lebih besar dan meningkat saban tahun juga ditunjukan lewat rekapitulasi tentang Konsumsi dan Pengeluaran Penduduk dalam buku Sulawesi Utara dalam Angka 2006, berdasarkan data pengeluaran perkapita untuk konsumsi makanan rata-rata sebesar Rp 136.199 atau 62,22% dari total pengeluaran.
Naiknya harga BBM tak hanya berdampak mekarnya hutang warga di mana-mana, namun banyak yang terpaksa berpaling ke hutan mencari bahan baku kayu bakar sebagai ganti minyak tanah. Sekadar perbandingan kebutuhan minyak tanah sesuai dengan Standar Nasional Penggunaan Minyak Tanah per Keluarga (Pertamina/BPS) adalah 3,5liter/jiwa/bulan (Bapenas 2006).
Dari hitungan ini bisa diperhitungkan berapa banyak kayu yang akan dimanfaatkan menjadi kayu bakar. ‘’Karena so susah mo dapat minya tanah maka torang pake kayu yang ada’’ aku Merah Tolondadu dan Elsye Sahabat warga Kolongan Mitung Kecamatan Tahuna Barat Kabupaten Sangihe.
MENGATASI KRISIS
Pemerintah diharapkan tanggap mengkaji permasalahan yang diretas krisis BBM hingga ke akar persoalan. Di tataran lokal, masih banyak warga kurang mampu yang tak dibekali ketrampilan berwirausaha selain melewati hidup dengan kemampuan apa danya. Saat datang badai krisis ekonomi, menggerogoti potensi sumberdaya alam menjadi pilihan paling mudah karena keterbatasan modal dan ketrampilan.
Di tingkatan yang lebih elitis perilaku boros pembelanjaan, menjadi beban lain budjeting daerah maupun negara (simak bahasan lengkap pada halaman Palakat).
Program penyelamatan dan penyehatan kehidupan ekonomi paling efektif harus datang dan dimulai dari pihak Pemerintah selaku regulator dan pemangku kebijakan.
Tragisnya, saat banyak nelayan kesulitan BBM untuk melaut atau saat sopir kehilangan banyak pendapatan, anggota DPRD Provinsi Sulur justru mendapat subsidi BBM dari uang rakyat. Masing-masing mendapat jatah 20 liter per-hari. Ini jumlah yang bisa digunakan seorang nelayan untuk melaut selama seminggu. (k3x)
Raymond Mudami
ARNITA Tompomica (45 tahun) tertunduk lesu di dipan tua depan rumahnya yang lebih menyerupai gubuk di pinggiran pantai Kolongan Mitung Kecamatan Tahuna Barat Kabupaten Sangihe. Ibu rumah tangga ini tak memiliki mata pencaharian lain kecuali berharap hasil tangkapan suaminya yang melaut menggunakan katinting. Hidup terasa makin berat, apalagi harus memenuhi kebutuhan 4 orang anak yang masih kecil.
Saat informasi kenaikan bahan bakar minyak (BBM) meruyak di media bulan ini, kabar itu semakin tak populis di mata Tompomica.’’Selama ini so susah, no apalagi kalau BBM mo nae, so nentau mo ator bagaimana ini hidup. Torang pasti akan makin susah dan penuh utang , mestinya kwa pemerintah jangan kase nae itu BBM’’ keluhnya.
Tompomica hanyalah salah satu contoh potret tragik ratusan juta ibu rumah tangga dan warga kebanyakan di negeri ini yang terhenyak manakala pemerintah memastikan harus kembali menaikan harga BBM demi mengamankan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) agar tak terkuras oleh pos subsidi BBM. Arnita tidak berbeda jauh dengan nasib Selmi Salintiho (57), ibu 6 anak yang tinggal di Batu Tajam, Bolaang Mongondow Utara. Seperti tahun 2005, dana BLT yang diterima tidak pernah mencukupi biaya kehidupan bersama suami dan anak-anaknya yang hidup sebagai keluarga petani.
Selama ini, terdapat korelasi positif antara kenaikan harga BBM dengan meningkatnya penduduk miskin di Indonesia. Di Kabupaten Sangihe yang warganya banyak nelayan, Badan Pusat Statistik setempat melaporkan, sejak 2004 jumlah penduduk miskin terus mengalami peningkatan. Pada 2004 jumlah penduduk miskin di daerah ini 24.850 jiwa, 2005 menjadi 26.460 jiwa atau 13,85% dari jumlah penduduk. Pada 2006 melonjak menjadi 30.954 jiwa atau 16% dari jumlah penduduk (Buku Indikator Sosial Ekonomi Kabupaten Kepulauan Sangihe 2007). Rumah tangga miskin penerima Bantuan Langsung Tunai menurut PSE05 17.000 rumah tangga.
Sementara pada skala nasional menurut BPS pada tahun 2006, 1% pertumbuhan ekonomi hanya berkolerasi dengan penyerapan tenaga kerja sebanyak 48 ribu orang. Dengan demikian tahun 2008 akan terjadi ledakan kemiskinan yang pada tahun 2006 saja jumlahnya mencapai 128,94 juta orang.
HUTANG MENUMPUK
Seperti gerak gerbong kereta api, kenaikan BBM menyeret siapa pun menuju kemiskinan. kualitas hidup warga kian menukik. Penelusuran lapangan di sejumlah kawasan, Di berbagai tempat bisa ditemukan kesamaan cara warga menghadapi kenaikan BBM kali ini. Ungkapan koor ”hidop so lebe susah” atau berhutang kepada mereka yang punya uang menjadi pilihan paling klasik yang harus ditempuh. ’’Mo bagaimana le, salah-salah kwa mo pancuri, terpaksa makan apa adanya, dan pasti makin rajin ba utang pa tetangga yang punya doi,’’ sembur Ratna Mirah Warga Tolondadu Dua Kecamatan Bolang Uki.
Amelia Dumanu warga Kolongan Mitung Kecamatan Tahuna Barat Kabupaten Sangihe, Marce Lumingkewas Warga Tuminting Manado, dan para ibu rumah tangga yang tinggal sepanjang bantara Kali Tondano, merasa tidak punya banyak pilihan dalam menghadapi situasi.
Kalangan Ibu rumah tangga mengaku, ilmu gale-lubang-tutu-lubang terpaksa dipraktekkan agar roda ekonomi keluarga bisa terus diputar. Dumanu memberi hitungan kasar, sehari-hari di luar kebutuhan sandang, dia harus mengeluarkan biaya paling sedikit Rp 50.000 untuk konsumsi, artinya sebulan diperlukan Rp1.500.000. Angka ini masih di luar kebutuhan lain yang juga mestinya dipenuhi.
Sementara dibandingkan dengan kemampuan pendapatan suami hanya nelayan kecil jelas tak mencukupi. ‘’Makanya nda ada jalan lain ba utang pa birman sambil berharap kalau paitua so dapa ikang, jual baru tutup tu utang begitu terus,’’ kisanya.
Dalam sebulan hanya sekitar 15 hari efektif yang digunakan nelayan untuk melaut, itupun tak saban hari mendapatkan hasil. Kemampuan pendapatan rata-rata nelayan kecil seperti yang diakui Johan Sahitang nelayan asal Kampung Tidore berkisar Rp 700.000-an sebulan
Pengalaman serupa diakui nelayan di Bolmong Arman Tolondadu Dua Kec Bolang Uki, semalam ia harus butuh 25 liter minyak untuk melaut, sementara belum selalu mendapatkan hasil tangkapan yang maksimal. ‘’Harga ikan masih sulit dapat.. kadang kala kosong, pendapatan kurang.. biaya BBM terbuang percuma.. kalau boleh jangan dulu kase nae kawa itu minya ‘’ ujarnya.
Proporsi biaya untuk konsumsi yang cenderung lebih besar dan meningkat saban tahun juga ditunjukan lewat rekapitulasi tentang Konsumsi dan Pengeluaran Penduduk dalam buku Sulawesi Utara dalam Angka 2006, berdasarkan data pengeluaran perkapita untuk konsumsi makanan rata-rata sebesar Rp 136.199 atau 62,22% dari total pengeluaran.
Naiknya harga BBM tak hanya berdampak mekarnya hutang warga di mana-mana, namun banyak yang terpaksa berpaling ke hutan mencari bahan baku kayu bakar sebagai ganti minyak tanah. Sekadar perbandingan kebutuhan minyak tanah sesuai dengan Standar Nasional Penggunaan Minyak Tanah per Keluarga (Pertamina/BPS) adalah 3,5liter/jiwa/bulan (Bapenas 2006).
Dari hitungan ini bisa diperhitungkan berapa banyak kayu yang akan dimanfaatkan menjadi kayu bakar. ‘’Karena so susah mo dapat minya tanah maka torang pake kayu yang ada’’ aku Merah Tolondadu dan Elsye Sahabat warga Kolongan Mitung Kecamatan Tahuna Barat Kabupaten Sangihe.
MENGATASI KRISIS
Pemerintah diharapkan tanggap mengkaji permasalahan yang diretas krisis BBM hingga ke akar persoalan. Di tataran lokal, masih banyak warga kurang mampu yang tak dibekali ketrampilan berwirausaha selain melewati hidup dengan kemampuan apa danya. Saat datang badai krisis ekonomi, menggerogoti potensi sumberdaya alam menjadi pilihan paling mudah karena keterbatasan modal dan ketrampilan.
Di tingkatan yang lebih elitis perilaku boros pembelanjaan, menjadi beban lain budjeting daerah maupun negara (simak bahasan lengkap pada halaman Palakat).
Program penyelamatan dan penyehatan kehidupan ekonomi paling efektif harus datang dan dimulai dari pihak Pemerintah selaku regulator dan pemangku kebijakan.
Tragisnya, saat banyak nelayan kesulitan BBM untuk melaut atau saat sopir kehilangan banyak pendapatan, anggota DPRD Provinsi Sulur justru mendapat subsidi BBM dari uang rakyat. Masing-masing mendapat jatah 20 liter per-hari. Ini jumlah yang bisa digunakan seorang nelayan untuk melaut selama seminggu. (k3x)
0 komentar:
Posting Komentar