Edisi Mei 2008
Raymond Mudami
EPISODE klasik yang kembali berulang saat genta kenaikan BBM ditabuh Pemerintah. Apa yang pernah didengungkan hampir empat puluh tahun lamanya sejak Erick Eckholm mengingatkan global dengan publikasi bukunya, “ The Other Energy Crisis: Fuelwood” menuai bukti. Eckholm memperkirakan terjadinya kekurangan kayu bakar sejalan dengan meningkatnya jumlah penduduk miskin yang mengeksploitasi hutan-hutan secara berlebihan untuk mendapatkan bahan bakar yang mereka butuhkan. Hal ini akan semakin menyusahkan hidup dari jutaan wanita dan anak-anak, yang harus berjalan sangat jauh untuk mendapatkan kayu bakar (CIFOR's Forest Policy Expert Listserver Indonesian, 2003)
Demikian pula yang ada di benak banyak warga di Indonesia saat ini manakala gaung kenaikan BBM kian berhembus deras. Sejumlah provinsi melaporkan meningkatnya aksi ‘masuk hutan’ mengambil kayu untuk bahan bakar. Bagi yang ada di kawasan pesisir, pilihan paling ‘mudah’ memanfaatkan tumbuhan pantai (mangrove/bakau atau/posi-posi) untuk jadi kayu bakar.
Bisa dimaklumi bila berpaling ke kayu menjadi pilihan utama warga di Sulut saat ini. Kalkulasi Bapenas 2006 menunjukkan, standar nasional penggunaan minyak tanah per keluarga adalah 3,5 liter /jiwa/bulan. Data kebutuhan minyak tanah penduduk di Sulut dengan jumlah 2.186.810 jiwa adalah 383.60 KL(kilo liter?)/perhari. Bila separuh saja dari KK yang terbiasa mengkonsumsi minyak tanah beralih ke kayu untuk kebutuhan memasak, bisa dibayangkan berapa banyak potongan kayu yang harus dikirim ke tungku perapian saban harinya.
Dwi Darma Kahubmas Kabupaten Bolmong mendapati fakta kian banyaknya aksi pemanfaatan bakau di pantai utara Bolaang Mongondow sejak kenaikan BBM 2006 lampau. Hal serupa juga dipastikan terjadi di wilayah pesisir lainnya di Sulut. Sanksi hukum tidak lagi membuat warga takut mengambil bakau karena tidak ada pilihan lain yang bisa diambil.
Sementara tak sedikit warga di pedalaman yang lebih ke pinggiran memilih masuk ke hutan dan memanfaatkan kayu sebagai bahan bakar alternatif. ‘’Gampang mo cari kurang tangan yang nda baku riki, karena sekarang mo pake minyak tanah pe mahal jadi sudah pake jo kayu,’’ aku Tante Nona warga Molas Kecamatan Bunaken. Walau tersedia cukup banyak, namun bukan berarti pemanfatan kayu baik penebangan mangrove maupun pengambilan pohon tak memunculkan resiko lingkungan sebagaimana yang diperingatkan Eckholm.
Untuk vegetasi hutan mangrove di Sulawesi Utara dalam sepuluh tahun terakhir juga mengalami degradasi yang tajam. Luas totalnya berkisar Di seluruh Sulawesi Utara sendiri luas hutan mangrove sekitar 28.000 ha, yang tersebar di sejumlah kabupaten daerah tingkat II. "Tapi jumlahnya tiap tahun makin berkurang," kata Ir Lilik Amin Rahardjo dari Balai Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah wilayah X Sulawesi Utara dan Tengah.
Kerusakan bakau di daerah pesisir pantai juga akan menjadi ancaman bagi warga yang menetap di sekitarnya. Ketika rumah tangga nelayan tidak bisa membeli minyak tanah dengan harga Rp 3000 setiap liternya, mangrove bisa menjadi alternatif sebagai pengganti minyak tanah. Di pasar-pasar tradisional, di ruas-ruas jalan yang ramai, penjualan kayu bakar juga semakin marak. Beberapa tahun sebelumnya banyak yang beralih ke tempurung kelapa. Namun kali ini tempurung justru sudah lebih mahal. Di Kelurahan Maasing Lingkungan III, tujuh potong tempurung dijual Rp 1000, padahal sebelumnya 20 potong hanya berharga Rp 500. Kenaikan ini dipicu oleh makin meningkatnya permintaan arang tempurung di pasar. Bahkan beberapa pedagang antar pulau mulai memburu tempurung untuk dijual ke pabrik baja, PT Krakatau Steel, sebagai bahan baku peleburan baja.
Kondisi hutan, data pihak BPLH Sulut (2007) menyebutkan laju deforestasi di Propinsi Sulawesi Utara selama kurun waktu 2002 mencapai 2 % untuk kurun waktu 2003 tidak dapat dianalisa dikarenakan revisi data, dimana data areal tidak berhutan berkurang 6 %, hutan primer berkurang 9 % dan hutan sekunder bertambah sebanyak 15 %. Berkurangnya hutan primer sebesar 9 % menunjukkan gejala deforestasi yang cukup besar. Sedangkan pada tahun 2004 menurun menjadi 1 % dan selama kurun waktu tahun 2005 hanya sebesar 0,32 %.
Berdasarkan data spasial lahan kritis tahun 2004, luas lahan kritis Propinsi Sulawesi Utara dengan kategori sangat kritis sebesar 27.400 Ha, kritis sebesar 243.053 Ha, agak kritis sebesar 506.551 Ha, Potensial kritis sebesar 590.074 Ha dan tidak kritis sebesar 101.562 Ha.
Seperti diketahui bahwa kegiatan penebangan hutan selain mengakibatkan berkurangnya cadangan atau stok kayu dihutan juga menyebabkan terjadinya degarasi tanah, udara, air serta hilangnya keanegaragaman hayati. Hutan memiliki fungsi lingkungan yang sangat beragam karena kemampuannya yang luar biasa dalam memenuhi kebutuhan manusia.
Kalangan ibu rumah tangga selain menyayangkan sikap kaku Pemerintah yang menaikan harga BBM, juga mengaku tak bisa berbuat apa-apa selain masih berharap dari kayu bakar. Ada keinginan untuk menggunakan alat masak ramah lingkungan, namun hal itu belum ada di lingkungan mereka. ‘’Kalau stow ada yang lebeh murah dan aman torang pasti mo pake itu,’’ ujar Since Daleda warga Minut yang mengaku tertarik menjajaki alat masak sejenis tungku arang tampurung yang produksinya belum massal di Sulut (k3x)
Raymond Mudami
EPISODE klasik yang kembali berulang saat genta kenaikan BBM ditabuh Pemerintah. Apa yang pernah didengungkan hampir empat puluh tahun lamanya sejak Erick Eckholm mengingatkan global dengan publikasi bukunya, “ The Other Energy Crisis: Fuelwood” menuai bukti. Eckholm memperkirakan terjadinya kekurangan kayu bakar sejalan dengan meningkatnya jumlah penduduk miskin yang mengeksploitasi hutan-hutan secara berlebihan untuk mendapatkan bahan bakar yang mereka butuhkan. Hal ini akan semakin menyusahkan hidup dari jutaan wanita dan anak-anak, yang harus berjalan sangat jauh untuk mendapatkan kayu bakar (CIFOR's Forest Policy Expert Listserver Indonesian, 2003)
Demikian pula yang ada di benak banyak warga di Indonesia saat ini manakala gaung kenaikan BBM kian berhembus deras. Sejumlah provinsi melaporkan meningkatnya aksi ‘masuk hutan’ mengambil kayu untuk bahan bakar. Bagi yang ada di kawasan pesisir, pilihan paling ‘mudah’ memanfaatkan tumbuhan pantai (mangrove/bakau atau/posi-posi) untuk jadi kayu bakar.
Bisa dimaklumi bila berpaling ke kayu menjadi pilihan utama warga di Sulut saat ini. Kalkulasi Bapenas 2006 menunjukkan, standar nasional penggunaan minyak tanah per keluarga adalah 3,5 liter /jiwa/bulan. Data kebutuhan minyak tanah penduduk di Sulut dengan jumlah 2.186.810 jiwa adalah 383.60 KL(kilo liter?)/perhari. Bila separuh saja dari KK yang terbiasa mengkonsumsi minyak tanah beralih ke kayu untuk kebutuhan memasak, bisa dibayangkan berapa banyak potongan kayu yang harus dikirim ke tungku perapian saban harinya.
Dwi Darma Kahubmas Kabupaten Bolmong mendapati fakta kian banyaknya aksi pemanfaatan bakau di pantai utara Bolaang Mongondow sejak kenaikan BBM 2006 lampau. Hal serupa juga dipastikan terjadi di wilayah pesisir lainnya di Sulut. Sanksi hukum tidak lagi membuat warga takut mengambil bakau karena tidak ada pilihan lain yang bisa diambil.
Sementara tak sedikit warga di pedalaman yang lebih ke pinggiran memilih masuk ke hutan dan memanfaatkan kayu sebagai bahan bakar alternatif. ‘’Gampang mo cari kurang tangan yang nda baku riki, karena sekarang mo pake minyak tanah pe mahal jadi sudah pake jo kayu,’’ aku Tante Nona warga Molas Kecamatan Bunaken. Walau tersedia cukup banyak, namun bukan berarti pemanfatan kayu baik penebangan mangrove maupun pengambilan pohon tak memunculkan resiko lingkungan sebagaimana yang diperingatkan Eckholm.
Untuk vegetasi hutan mangrove di Sulawesi Utara dalam sepuluh tahun terakhir juga mengalami degradasi yang tajam. Luas totalnya berkisar Di seluruh Sulawesi Utara sendiri luas hutan mangrove sekitar 28.000 ha, yang tersebar di sejumlah kabupaten daerah tingkat II. "Tapi jumlahnya tiap tahun makin berkurang," kata Ir Lilik Amin Rahardjo dari Balai Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah wilayah X Sulawesi Utara dan Tengah.
Kerusakan bakau di daerah pesisir pantai juga akan menjadi ancaman bagi warga yang menetap di sekitarnya. Ketika rumah tangga nelayan tidak bisa membeli minyak tanah dengan harga Rp 3000 setiap liternya, mangrove bisa menjadi alternatif sebagai pengganti minyak tanah. Di pasar-pasar tradisional, di ruas-ruas jalan yang ramai, penjualan kayu bakar juga semakin marak. Beberapa tahun sebelumnya banyak yang beralih ke tempurung kelapa. Namun kali ini tempurung justru sudah lebih mahal. Di Kelurahan Maasing Lingkungan III, tujuh potong tempurung dijual Rp 1000, padahal sebelumnya 20 potong hanya berharga Rp 500. Kenaikan ini dipicu oleh makin meningkatnya permintaan arang tempurung di pasar. Bahkan beberapa pedagang antar pulau mulai memburu tempurung untuk dijual ke pabrik baja, PT Krakatau Steel, sebagai bahan baku peleburan baja.
Kondisi hutan, data pihak BPLH Sulut (2007) menyebutkan laju deforestasi di Propinsi Sulawesi Utara selama kurun waktu 2002 mencapai 2 % untuk kurun waktu 2003 tidak dapat dianalisa dikarenakan revisi data, dimana data areal tidak berhutan berkurang 6 %, hutan primer berkurang 9 % dan hutan sekunder bertambah sebanyak 15 %. Berkurangnya hutan primer sebesar 9 % menunjukkan gejala deforestasi yang cukup besar. Sedangkan pada tahun 2004 menurun menjadi 1 % dan selama kurun waktu tahun 2005 hanya sebesar 0,32 %.
Berdasarkan data spasial lahan kritis tahun 2004, luas lahan kritis Propinsi Sulawesi Utara dengan kategori sangat kritis sebesar 27.400 Ha, kritis sebesar 243.053 Ha, agak kritis sebesar 506.551 Ha, Potensial kritis sebesar 590.074 Ha dan tidak kritis sebesar 101.562 Ha.
Seperti diketahui bahwa kegiatan penebangan hutan selain mengakibatkan berkurangnya cadangan atau stok kayu dihutan juga menyebabkan terjadinya degarasi tanah, udara, air serta hilangnya keanegaragaman hayati. Hutan memiliki fungsi lingkungan yang sangat beragam karena kemampuannya yang luar biasa dalam memenuhi kebutuhan manusia.
Kalangan ibu rumah tangga selain menyayangkan sikap kaku Pemerintah yang menaikan harga BBM, juga mengaku tak bisa berbuat apa-apa selain masih berharap dari kayu bakar. Ada keinginan untuk menggunakan alat masak ramah lingkungan, namun hal itu belum ada di lingkungan mereka. ‘’Kalau stow ada yang lebeh murah dan aman torang pasti mo pake itu,’’ ujar Since Daleda warga Minut yang mengaku tertarik menjajaki alat masak sejenis tungku arang tampurung yang produksinya belum massal di Sulut (k3x)
0 komentar:
Posting Komentar