Kamis, 07 Agustus 2008

Pangan Berlomba Naik, Gizi Berpacu Turun

. Kamis, 07 Agustus 2008

Edisi Juni 2008

Raymond Mudami

TAK putus dirundung malang. Seperti itulah nasib yang menimpa hampir seperempat jumlah penduduk negeri ini setelah harga BBM terus meroket. Kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM) bulan silam diperkirakan memicu kenaikan jumlah penduduk miskin Indonesia menjadi 41,7 juta atau 21,92 % dari total penduduk. ‘’Mo beking bagaimana le, torang hidop apa adanya. Samua nae, makan makin susah, pendapatan sehari-hari nda baku cukup,” ratap Ny Umi Pangalaheng warga Tahuna Sangihe.

Umi adalah prototype warga yang tidak pernah beruntung nasibnya dalam pusaran ekonomi politik yang mendera negeri ini sejak era reformasi. Sebagaimana umumnya warga miskin, mereka hanya menjadi saksi atas banyak sekali persoalan yang membebani. Nyaris tanpa mampu berkelit, apalagi melakukan penolakan

Di Sulut, klaim kemiskinan memang rada berbau politis. Para pejabat pemerintah sangat malu mengatakan bahwa daerah ini mengalami kemiskinan pasca kenaikan harga BBM lalu. Jika menggunakan data penghasilan USD 1 atau setara Rp 9.300 per-hari, jumlah yang miskin masih berkisar 284.692 jiwa atau 13% (Laporan MDG’s 2008). Namun jika menggunakan indikator lainnya seperti rasio kesenjangan kemiskinan, indikator penyebaran penghasilan maupun indikator proporsi penduduk yang menderita kelaparan, maka jumlahnya bisa dipastikan akan sangat tinggi. Tapi tak ada data satu pun yang tersedia untuk menggambarkan hal ini.

“Salah satu belanja yang ditekan adalah belanja bahan pangan yang punya nilai gizi lebih baik. Ini menyulitkan pemenuhan gizi para ibu menyusui atau anak balita”, papar Lusye Gerungan dari BKKBN Provinsi Sulut dalam Round Table Discussion di Kantor Lestari, Jumat 20 Juni 2008.

Kondisi di Sulut sebagaimana penelusuran lapangan di sejumlah kawasan pasca kenaikan BBM akhir Mei kemarin, mengkonfirmasi ragam fakta pilu yang menjerat warga. Hidup kian susah, harga kebutuhan pokok bergerak naik hingga kisaran 10-50%, dari ladang pertanian keluh resah mekar seiring meningkatnya biaya saprotan (sarana produksi pertanian). Dampak ikutan lain yang meretas makin kuatnya ancaman kerawanan pangan yang memicu kelaparan dan gizi buruk (loss generation) di sejumlah kantong kemiskinan.

MENJULANG NYATA
Apanya yang salah ? Sebagai gambaran awal BPS Sulut pada awal Juni ini menyebutkan kenaikan BBM baru berpengaruh 25 %, dan akan merambat hingga 75 % pada akhir bulan ini sebagai akibat multiplier effect. Sesuai prediksi pemerintah, kenaikan harga BBM 30 % misalnya, akan menaikkan indeks harga konsumen sampai 26,94 %. Jika kenaikan 10 % dan 20 % saja, bisa memicu kenaikan indeks hingga 8,98 % dan 17,96 % (Kompas, 1 April 2008). Namun sebagaimana yang terdata di sejumlah pasar tradisional di Kota Manado, Tomohon, Tahuna, Bitung, Sangihe dan Bolmong , harga pangan sudah meningkat antara 25-35 % pada wal Juni 2008. Harga beras, minyak goreng, dan gula pasir, naik rata-rata di atas 25 %. Kenaikan yang bervariasi sekitar 20-35 % terjadi pula pada beragam jenis ikan, sedangkan daging ayam (20 %) dan daging sapi (10 %).

Erni Hulahalu, Warga Kampung Patimura Tahuna Kabupaten Sangihe adalah contoh korban situasi ini. Pedagang Barito (bawang, rica tomat) di pasar Manente Tahuna itu mengisahkan, sebelum kenaikan BBM dia bisa melego 10 kas tomat dalam seminggu, ‘’Sekarang paling tinggi satu kas satu minggu,’’ ujarnya prihatin.

Keluh-kesah juga menjerat sektor pertanian yang ikut merasakan dampak kenaikan BBM. Biaya saprotan, pengolahan, transportase dan pemasaran ikut melonjak. Dari pusat berhembus hitungan yang meresahkan. Departemen Pertanian misalnya memperkirakan kenaikan harga BBM mengakibatkan naiknya biaya produksi 15-20 %. Imbasnya langsung berdampak pada berkurangnya margin keuntungan petani (Kompas, 27 Mei 2008).

Di Sulut kebutuhan pupuk bergolak, menyusul penyesuaian harga yang diberlakukan distributor hingga kisaran 10 %. Urea baru bisa didapat dengan mengeluarkan uang Rp60.000/karungnya. SP 77.500/karung. Phonzka naik dari Rp33.500 menjadi Rp 35.000/20 kg. Pupuk SPE36 naik dari Rp 74.000 menjadi 76.500/sak (Periset: Meilyn Pathibang, Herman Teguh, Rio Ismail)

0 komentar:

 
Namablogkamu is proudly powered by Blogger.com | Template by o-om.com