Kamis, 07 Agustus 2008

Melawan Kenaikan Harga Pangan

. Kamis, 07 Agustus 2008

Edisi Juni

Sri Hardiyanti

Bu’ Apson tak mampu berbuat apa-apa melihat ubi yang dipeliharanya selama 3 bulan telah habis dicuri orang. Punah sudah harapannya menambah penghasilan keluarganya. Ia tidak sendirian, dalam sebulan terakhir, di kampungnya, Tateli, sudah terjadi 3 kali pencurian. Belum sebulan kenaikan harga BBM, kasus pencurian ubi, jagung dan bahan pangan lainnya, seperti yang dialami Bu’ Apson, makin kerap terjadi. Suatu indikasi bahwa makin banyak orang yang sulit mendapatkan makan.

Berbagai analisis memperkirakan 40% dari total penghasilan penduduk Indonesia diperuntukkan membeli bahan pangan. Masalahnya adalah, ketika harga BBM dinaikkan, harga pangan juga naik lebih tinggi. Tragisnya, penghasilan petani maupun kaum miskin lainnya tidak berubah dari waktu ke waktu. Selain tidak punya makanan cadangan, juga tidak ada uang untuk membeli makanan bagi kebutuhan dasar keluarga. Bagi sebagian orang, mencuri kini menjadi pilihan terakhir agar hidup tetap berlanjut. Soal moral seolah menjadi urusan kedua. Tapi itulah kondisinya: kenaikan harga pangan seperti berlomba dengan kenaikan angka kejahatan korupsi, pemborosan uang rakyat, penghancuran sumber daya alam, dan kepongahan segelintir orang yang mengendalikan kehidupan ekonomi dan politik.

Bagi keluarga Bu’ Apson yang mencoba bertahap hidup di tengah kemiskinan, pilihan pun sangat terbatas. Kini Usi, istrinya harus juga berjalan dari satu kebun ke kebun lainnya membeli berbagai macam sayuran untuk dijual di pasar. Tanpa bantuan Usi, biaya makan dan sekolah anak-anak mereka tak mungkin dapat dipenuhi. Soal dana BLT? Rasanya jauh panggang dari api: menutupi sebagian biaya hidup tetapi tak pernah membuat mereka bisa keluar dari himpitan kemiskinan yang bersumber pada pengaturan negara yang buruk.

Berbagai pemberitaan menyebutkan telah terjadi surplus beras di Sulawesi Utara pada periode panen kali ini. Situasi yang mengikuti trend dunia. Food and Agriculture Organisation menyatakan bahwa produksi beras dunia akan meningkat 1,8% tahun ini. Kali ini perubahan iklim memberi dampak yang menguntungkan. La Nina di lautan Pasifik telah meningkatkan curah hujan di sebagian besar wilayah Indonesia. Akibatnya panen tahun 2007-2008 meningkat secara signifikan. Tapi, apakah ini menguntungkan?
Banyak fakta menunjukkan bahwa sejak 1988 surplus beras di Indonesia tidak selalu menutupi kebutuhan makan jutaan kaum miskin. Bahkan tidak memberikan jaminan rasa aman untuk mendapatkan makanan yang layak dalam artian jumlah, kualitas dan kandungan nutrisi. Setidaknya bagi masyarakat di berbagai kantong kemiskinan seperti Sangihe Talaud, sebagian wilayah pesisir Minahasa Utara, pesisir Minahasa Selatan seperti Kapitu, Sapa, Blongko dan Boyong Pante, atau Lolayan, Dumoga Utara, Posigadan, Bolaang Itang, Pinolosian, Bintauna, dan Dumoga Barat di Bolaang Mongondow, serta kawasan kumuh di Manado bagian Utara. Bagi mereka, pada masa panen atau tidak panen beras, kesulitan akses dan kontrol terhadap pangan merupakan cerita pilu dari rumah ke rumah.

Apa sesungguhnya yang kita hadapi? Pertama, kekurangan pangan atau yang paling buruk adalah kelaparan atau kurang gizi, selalu bersumber pada keputusan politik. Terutama distribusi pangan yang tidak merata, dan makin menurunnya nilai subsidi negara terhadap sektor pertanian karena adanya keputusan pemerintah untuk menyesuaikan diri dengan tuntutan organisasi perdagangan dunia (World Trade Organization/WTO). Kedua, makin rendahnya akses dan kontrol terhadap sumber pangan, termasuk sumber pangan yang dikenal “tidak wajib” menyesuaikan dengan aturan WTO”, yaitu ubi, batata, bête, sagu, dan berbagai jenis sayuran lainnya. Pemerintah kehilangan perhatian terhadap komoditas ini. Prioritas hanya ada pada komoditas yang terkait dengan bisnis pupuk, pertisida dan benih. Di luar dari itu tidak dilindungi, tidak diberi akses ke pasar, tidak diberi fasilitas kredit, bahkan dikesankan sebagai bentuk keterbelakangan. Areal pertanian yang ditanami jenis komoditas ini pun sering dikonversi menjadi kawasan non pertanian pangan.

Ketiga, kita sangat tergantung pada politik pertanian global, terutama bisnis pertanian yang terikat pada perjanjian WTO, misalnya beras, jagung, gula dan kedele. Bila terjadi krisis pada suplai beras secara global atau terjadi fluktuasi suplai beras dunia karena perubahan iklim, kita pun akan merasakan dampaknya. Harga beras ditingkat konsumen jadi tinggi karena tidak ada pasokan. Pada saat yang sama, pergeseran politik pertanian yang berbasis pada organisme hasil rekayasa genetic (Genetical Modified Organism/GMO) telah membuat petani kita sangat tergantung. Menjadi budak benih hibrida, pupuk, dan pestisida yang nilai belinya bisa berkisar 20% hingga 30% dari total biaya produksi. Tragisnya, konsumen kita disandera dengan kebijakan impor beras, yang disebut-sebut terpaksa dilakukan untuk memenuhi kebutuhan konsumen.

Ketiga hal di atas memberi konfirmasi bahwa kita sesungguhnya tidak lagi memiliki kedaulatan atas pangan. Kita tidak lagi memiliki garis belakang pertahanan pangan. Liberalisasi perdagangan dan globalisasi pertanian memang sering diklem meningkatkan produksi pangan, meningkatkan efisiensi produksi pangan, meningkatkan situasi ekonomi petani serta meningkatkan pola konsumsi pangan. Namun bukti-bukti yang ditunjukkan oleh peserta konperensi internasional tentang Globalization, Food Security and Sustainable Agriculture di Delhi Juli 2007 menunjukkan situasi yang bertolak belakang. Memiskinkan dan menghancurkan keberlanjutan kehidupan kaum miskin.

Dalam skenario pembangunan neo-liberal yang patriarkal, nasib rakyat termasuk perempuan tidaklah berada di tangan rakyat sendiri. Rakyat dibuat tergantung pada kekuatan modal dari negara-negara maju yang mengendalikan. Di sektor pertanian, petani tergantung mulai sejak penentuan tanaman, pemilihan bibit, pengelolaan air (irigasi), pemupukan, pestisida yang makin mahal, sampai pada pada penentuan harga atas produk mereka. Kini tanah pertanian mengalami degradasi dan mata rantai kehidupan ekosistem rusak. Perlahan namun pasti, pemerintah ‘melepas’ tanggung jawabnya mewujudkan kesejahteraan rakyatnya. Rakyat diminta membiayai dirinya bahkan didorong bekerja lebih keras untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) agar kaum miskin pun bisa “berpartisipasi“ menaikkan biaya operasional anggota DPRD.
Jangan biarkan kelaparan menjadi pembunuh tanpa muka. Kita perlu mengubah fakta bahwa kematian karena ketiadaan pangan dalam 20 tahun terakhir lima kali lebih tinggi dari pada kematian akibat perang. Sudah saatnya membangun sumber pangan yang berbasis pada kebutuhan dan kapasitas rakyat. Jika perlu kita semua dengan lantang say no terhadap degradasi lingkungan dan pengalihan lahan pertanian untuk tujuan lain non pangan.


0 komentar:

 
Namablogkamu is proudly powered by Blogger.com | Template by o-om.com