Kamis, 07 Agustus 2008

Ketika Ketela Tak Lagi Gurih

. Kamis, 07 Agustus 2008

Edisi Juni 2008

Fary SJ Oroh

PERNYATAAN menarik diungkap Prof Christian Fernie dalam round table discussion yang digelar Lestari bulan Mei lalu. Dia mengatakan, seharusnya masyarakat Indonesia tidak perlu kelaparan. ”Dibandingkan dengan Afrika yang umumnya terdiri dari gurun yang gersang, Indonesia sangat subur. Tongkat yang ditaruh sembarangan di tanah saja bisa tumbuh menjadi tanaman,” katanya.

Koes Plus menggambarkan ungkapan Christian lewat hitsnya ’Kolam Susu’, yang penggalan liriknya ”tongkat kayu dan batu jadi tanaman” sangat mirip dengan ungkapan Christian. ”Tongkat yang ditancap ke tanah dan bertumbuh” merupakan bagian dari perbanyakan secara stek, seperti pada ketela pohon atau ubi kayu. Di Sulawesi Utara, ubi kayu dan jenis umbi-umbi lainnya seperti ubi jalar (batata) relatif mudah tumbuh, dan tak perlu perlakuan khusus seperti pemupukan dan penyemprotan pestisida. Berbagai jenis pisang pun bisa hidup subur tanpa perawatan.

Karena itu, secara teoritis warga Sulut memang tak perlu kekurangan makanan. Di Minahasa, ubi dan pisang bisa direbus, dibakar atau digoreng sesuai selera. Ubi rebus yang dimakan dengan dabu-dabu sangat nikmat. Hanya berbekal bambu lentur, tali senar dan kail, alternatif lauk-pauk bisa didapatkan di sungai atau danau.

Bagi yang suka berburu, bisa hunting tikus (ekor putih), mencari kodok, menjerat kelelawar, atau mencari kolombi atau renga’, yang konon sudah dimakan penduduk Minahasa purba sejak 6.000 tahun sebelum Masehi. Soal lauk-pauk, warga Minahasa memang cukup kreatif, sehingga muncul pameo yang mengatakan, binatang apa pun dia, jika sudah diberi rica, tomat dan rampa-rampa, dia akan menjadi makanan.

TAK TERGANTIKAN
Nasi memang tidak tergantikan. Orang Sulut umumnya baru merasa benar-benar makan kalau menyantap nasi. Robert Zeigler, Direktur Jenderal International Rice Research Institute in Manila mengatakan, di Asia, beras atau nasi bukan sekedar komoditi pangan. Tapi merupakan bagian dari budaya, sosial, dan di beberapa tempat sangat terkait dengan kepercayaan, sehingga memiliki dampak secara psikologis (Time Magazine, 10 April 2008).

Dalam situasi apapun, banyak orang selalu mencari beras. Di Minahasa misalnya, petaniyang tidak punya lahan sawah, dapat mengerjakan sawah milik orang lain dengan sistim bagi hasil. Di Tondano, sistim ini disebut tumoyo. Cara membaginya adalah, seperempat hasil panen diberikan kepada para pekerja yang memetik padi (para maedo tetoro). Sisanya kemudian dibagi dua. Sepertiga diberikan kepada pemilik sawah dan dua pertiga merupakan hak si penggarap.

Di Langowan, penggarap juga mendapat dua per tiga dari hasil panen, sementara sepertiga diberikan kepada pemilik sawah. Tak mengherankan jika penghasilan petani tergolong minim. Survey Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2004 mengkonfirmasikan, sekitar 36 % dan 45,5 % dari jumlah petani dan buruh tani, punya pendapatan kurang dari setengah juta rupiah per bulan.

Pada umumnya penggarap sawah di Minahasa mengerjakan sawah dengan berutang. Setelah panen, uang yang didapatkan dari padi (atau beras) yang dijual dan digunakan untuk membayar hutang. Berhutang untuk mendapatkan modal yang dibayar setelah panen, menjadi sesuatu yang sadar atau tidak sadar telah menjerat terjerat dalam ikatan perbudakan hutang (bonded labor).

Nasib buruh tani lebih memiriskan. Mereka sehari-hari menanam padi, namun harus membeli beras untuk makan. ”Ini dilema bagi kita yang sudah terjajah dengan politik beras. Tanpa beras seperti mati, padahal kita sangat kaya dengan berbagai jenis tanaman yang memiliki kandungan karbohidrat tinggi”, kata Rignolda Jamaludin dan Sutrisno dalam Round Table Discussion di Kantor Lestari. ”Diperlukan keberanian dan kerja keras kita untuk keluar dari krisis seperti ini,” tutur S.A. Wakary dari Badan Ketahanan Pangan Sulut.

MASIH MENJANJIKAN
Dari segi potensi, budidaya ubi kayu, ubi jalar dan pisang di Sulut sebenarnya masih menjanjikan. Selang tiga tahun terakhir, menurut Sulut Dalam Angka tahun 2007, luas panen ubi kayu sangat fluktuatif. Tahun 2006 terdapat 6.058 ha areal panen, dengan jumlah produksi berkisar 136,88 ton. Luas panen ubi jalar pada tahun yang sama berkisar 3.755 ha dengan jumlah produksi 99,46 ton. Luas panen komoditi pisang pada tahun berkisar 2.181 ha dengan jumlah produksi 39.268 ton. Peluang pengembangan masih terbuka, karena masih ada areal tegal dan kebun seluas 241.210 ha, ladang/huma 107.473 ha, padang penggembalaan 42.427 ha, dan lahan tidur 48.940 ha.

Namun potensi ini sulit dikembangkan karena memang kurang mendapat perhatian pemerintah. Pemerintah dinilai tidak memberikan perlindungan kepada petani produsen ubi-ubian. Petani umumnya tidak tahu harus memasarkannya kemana, bahkan tak bisa dapat kredit bank kalau urusannya pertanian ubi-ubian.

Hambatan lainnya adalah, selera konsumen atau budaya konsumsi masyarakat sudah terlalu lama diubah pemerintah ke selera beras. Makanya nilai transaksi komoditas ubi dan pisang, baik di pasar tradisional maupun modern, sangat rendah. ”Memang nyanda banyak orang yang ba bli ubi. Banyak kali kita pe ubi so tiga hari blum laku-laku,” keluh Ani Karundeng (53), pedagang ubi yang ditemui di Pasar Tondano (Periset: Beni Kalalo, Rio Ismail).

0 komentar:

 
Namablogkamu is proudly powered by Blogger.com | Template by o-om.com