Kamis, 07 Agustus 2008

Palakat Mei 2008

. Kamis, 07 Agustus 2008

Kalau Saja Para Pejabat Lebih Peka...

SUATU siang di sebuah kawasan Sulawesi Utara. Tiga mobil mewah melaju kencang, diawali mobil bersirene. Semua jendela ditutup rapat dengan kaca ‘rayban’. Namun masyarakat sudah sangat hafal: itu mobil kepala daerah. Warga juga sudah tahu, kalau iringan kendaraan ini sebenarnya hanya untuk mengantar satu orang, yakni yang mulia kepala daerah.

Ketika krisis BBM menjadi isu yang kemudian berubah menjadi realita pahit, iring-iringan mobil kepala daerah ini menjadi pemandangan yang sangat kontradiktif: ketika harga BBM melonjak, sejumlah pihak (baca: pejabat) justru mempertontonkan ketidakarifan yakni memakai kendaraan berlebihan yang boros BBM.

Dalam pemberitaan terkait krisis BBM di sejumlah media massa bulan Mei ini, diberi kesan bahwa pemerintah hanya punya dua pilihan. Yakni mempertahankan subsidi, atau menaikkan harga BBM. Padahal, ada satu pilihan logis yang bisa menjadi alternatif, yakni efisiensi penggunaan anggaran rutin negara.

Tapi seperti yang kita bisa saksikan setiap hari, para pejabat, baik tingkat pusat mau pun daerah, rupanya memang sukar untuk berhemat. Iring-iringan kendaraan misalnya. Mungkin si pejabat merasa tidak nyaman jika ke kantor tidak diiringi mobil bersirene dan satu mobil berisi pengawal.

Kalau toh ada upaya penghematan, itu tidak lebih pada ’akting’, guna memancing simpati. Seperti pejabat di Sulut dan Manado yang naik bendi ketika ’hari tanpa kendaraan bermotor’ belum lama ini. Untuk momen yang sama ada pejabat yang naik ojek (mungkin si pejabat mengira yang dimaksud kendaraan bermotor hanya mobil. Dia lupa kalau sepeda motor, sesuai namanya juga menggunakan motor).

Pada akhirnya, memang dibutuhkan kearifan dan kepekaan dari para pejabat. Paling tidak untuk memulai kampanye soal penghematan, baik penghematan anggaran maupun hemat BBM. Kampanye ini tentu saja harus dibarengi tindakan nyata. Sebagai langkah awal, pejabat harus membiasakan diri bepergian tanpa diiringi kendaraan lain yang boros BBM. Yang menjadi pertanyaan adalah, apakah pejabat di Sulut mau? (far)

Alokasi konsumsi energi masyarakat miskin

MASYARAKAT miskin memang yang paling merasakan dampak kenaikan BBM. Bagi masyarakat nelayan, pemakaian BBM tidak mungkin dikurangi karena hal itu akan mengurangi mobilitas dan hasil tangkapan. Yang terjadi adalah peningkatan beban biaya konsumsi energi. Untuk menyiasati situasi, nelayan Likupang acapkali mencampur solar dengan minyak tanah. Secara umum, prosentase alokasi beban konsumsi energi masyarakat nelayan terus meningkat karena belum ada alternatif yang memadai.

Para petani justru menurunkan beban biaya konsumsi energi dengan menggunakan bahan bakar alternatif, semisal kayu bakar yang didapatkan di areal hutan atau perkebunan. Prosentase alokasi beban konsumsi energi BBM untuk petani akan turun, sepanjang kayu bakar masih bisa didapatkan dengan mudah dan gratis.(far)

Beban biaya hidup masyarakat miskin

NAIKNYA harga BBM secara langsung meningkatkan beban biaya hidup masyarakat miskin. Bahkan di sejumlah keluarga miskin di Likupang yang belum memiliki aliran listrik misalnya, konsumsi BBM (minyak tanah) menghabiskan separuh dari penghasilan keluarga. Beban hidup dipastikan makin tinggi karena penghasilan atau daya beli tidak meningkat. sementara harga sejumlah kebutuhan pokok sudah merangkak naik.(far)

Utang luar negeri Indonesia dari masa ke masa

PERJALANAN bangsa Indonesia tak bisa dilepaskan dari utang luar negeri. Bahkan ketika memproklamirkan kemerdekaan, Indonesia sudah mewarisi utang kolonial Hindia Belanda sebesar 4 miliar dolar. Kini utang menjadi salah satu faktor dominan yang berpengaruh terhadap besar kecilnya subsidi BBM maupun subsidi sosial. Negara-negara maupun lembaga pemberi utang mempersyaratkan pemotongan subsidi kepada rakyat.

Semasa pemerintahan Presiden Soekarno, terutama periode 1950 – 1956, hutang luar negeri mencapai total 31,9 miliar rupiah, dengan nilai tukar terhadap dolar Amerika bervariasi antara Rp 3,8, Rp 11,40 dan Rp 25 per 1 dolar.

Utang luar negeri akhirnya menjadi semacam ’trademark’ setiap pemerintahan, mulai dari Soeharto semasa Orde Baru. Selama hampir 31 tahun memerintah, Soeharto mengoleksi utang sebesar lebih dari 121 triliun rupiah, dengan kurs dolar mulai Rp 415 pada tahun 1971 hingga Rp 17.200, April 1998.

Pinjaman utang semasa BJ Habibie yang mengganti Soeharto memerintah pada tahun 1998-1999, sebesar 31, 51 triliun rupiah. Abdurrahman Wahid yang menjadi presiden berikutnya meminjam uang dari luar negeri sebesar 20, 95 triliun rupiah, dengan kurs dolar mulai dari Rp 7.100 hingga Rp 8.730 per 1 dolar Amerika.

Megawati Soekarnoputri yang mengganti Gus Dur, meminjam 13,43 triliun rupiah, dengan kurs antara Rp 8.400 hingga Rp 8.730 per 1 dolar US, dan Susilo Bambang Yudhoyono yang menjadi presiden pertama pilihan rakyat hingga memasuki tahun 2008 ini sudah meminjam total 116,43 triliun rupiah, dengan kurs sekitar Rp 9.000 per dolar.

Akumulasi utang masing-masing presiden ditambah bunga menyebabkan Indonesia kini memiliki utang sekitar Rp 1.428 triliun rupiah.(far)



0 komentar:

 
Namablogkamu is proudly powered by Blogger.com | Template by o-om.com