Edisi Mei 2008
Sri Hardiyanti
Pada saat menaikkan BBM 2005 maupun saat ini, pemerintah pusat mengklaim program kompensasi kenaikan BBM akan menurunkan tingkat kemiskinan. Gubernur Sulut SH Sarundajang pun malah sangat optimis tidak akan ada dampak pemiskinan bagi rakyat Sulut. Tapi pengalaman dari tahun ke tahun menunjukkan setiap ada kenaikan BBM terjadi peningkatan jumlah kemiskinan.
Februari 2005 misalnya, angka kemiskinan absolut naik dari dari 15,97% menjadi 17,75% pada Maret 2006, hanya beberapa bulan setelah kenaikan BBM. Di Sulawesi Utara, laporan pencapaian MDG’s Indonesia 2007 menunjukan, angka kemiskinan yang pada tahun 2000 hanya 8,28%, naik menjadi 14,51% pada tahun 2006. Sulawesi Utara memang tergolong wilayah yang secara ekonomi ditingkat nasional dianggap baik. Namun kecenderungan degradasi kualitas hidup juga meningkat. Sebagai contoh, angka kekurangan gizi balita masih berkisar 23,11%. Sedangkan proporsi jumlah rumah tangga rawan pangan mencapai 20%-30%. Belum lagi karena faktor penurunan kualitas lingkungan dan daya beli di beberapa wilayah kantong kemiskinan.
Pemerintah dan kalangan anggota DPRD Sulut bisa saja mengabaikan masalah ini. Atau menganggap ini bukan masalah Sulut. Atau bisa saja berdiam diri dengan keyakinan bahwa masalah sebentar lagi akan berlalu bersama waktu. Bahkan tanpa beban bisa mengatakan para pendemo kenaikan BBM di Manado adalah bukan warga Sulut tetapi orang luar. Benarkah ini bukan urusan kita semua? Atau benarkah kita tidak sedang menghadapi masalah besar, yaitu kemiskinan?
Mengapa kita miskin? Bukankah kita memiki tanah yang subur dan kekayaan sumberdaya alam berlimpah? Tidak dapat dipungkiri bahwa kita memang kaya. Namun nasib kita seperti tikus yang mati di lumbung padi. Kekayaan alam ternyata bukan hak kita lagi. Bahkan kita menjadi lebih miskin setelah kekayaan itupun dijual.
Sejak akhir tahun 90, tingginya harga minyak justru memberikan beban yang yang sangat berat bagi APBN. Sayangnya, dalam kondisi seperti ini, pemerintah tak punya kemampuan membangun sumberdaya rakyat. Andalan satu-satunya adalah berutang dan menjual migas dan mineral lainnya kepada pihak asing maupun korporasi dalam negeri. Perusahaan yang disokong negara dan punya koneksi dengan kekuatan ekonomi global. Sikap yang kemudian secara sistematis dimanfaatkan kekuatan ekonomi global menerapkan strategi “shock massal” atau kepanikan massal. Ini strategi untuk memaksa pemerintah di negara miskin seperti Indonesia menjual kekayaan alam dan menyesuaikan kebijakan anggaran dengan kepentingan pasar bebas.
Tindakan pemerintah dalam menaikkan BBM mengingatkan kita pada situasi “shock” secara sosial atau kepanikan seperti yang disitir Naomi Klein (The Shock Doctrine, 2007). Diawali dengan perubahan kebijakan ekonomi Amerika Serikat, lalu berimbas pada kenaikan harga minyak yang melampaui asumsi normal. Kemudian berujung pada shock di kalangan pemerintah, pengusaha dan tentu saja rakyat miskin.
Demo, protes, dan kekerasan pun terjadi di mana-mana. Dalam situasi seperti inilah pemerintah ditekan oleh kekuatan ekonomi global untuk menetapkan keputusan yang menguntungkan kepentingan perusahaan-perusahaan multinasional atau transnasional. Terutama keputusan tentang kontrak pengelolaan migas, privatisasi, dan yang paling berdampak tentu saja adalah pemotongan subsidi BBM dan subsidi sosial lainya. Dalam situasi beban anggaran yang besar seperti saat ini, maka negara kreditor memaksa pemerintah untuk memotong subsidi agar tidak mengurangi jumlah pembayaran utang.
Bagi pemerintah sendiri, kenaikan BBM hanya sebuah langkah pengamanan kebijakan. Karena itu, apa pun dampaknya menjadi prioritas kedua. Dimata Menkeu Sri Mulyani misalnya, kenaikan harga BBM hanya untuk mempertahankan keberlanjutan anggaran pendapatan dan belanja negara. Padahal APBN sendiri sangat tidak berpihak pada rakyat. Jadi, kerbelanjutan disini artinya taat membayar utang untuk menyelamatkan muka dimata para kreditor. Atau keberlanjutan kuncuran dana operasional bagi para pejabat tinggi dan politisi yang selama ini sering membuat keputusan yang merugikan rakyat.
Soal utang saja, sudah menghabiskan sekitar Rp. 155 triliun atau 16,7% dana APBN dalam bentuk pembayaran bunga dan cicilan utang luar negeri dan obligasi perbankan Indonesia. Ini juga yang mengakibatkan tidak adanya peningkatan signifikan dalam jumlah Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus untuk daerah-daerah. Andaikan bagi hasil pengelolaan migas dibalik menjadi 80% untuk Indonesia dan 20% untuk perusahaan asing, maka kenaikan harga minyak dunia tentu akan membantu kesejahteraan rakyat.
Masalahnya, kita seperti tidak lagi punya kepekaan dan rasa marah terhadap ketidakadilan global yang kemudian berimbas pada ketidakadilan antara pusat dan daerah, bahkan ketidakadilan terhadap rakyat. Krisis hutang, turunnya nilai rupiah, kenaikan harga BBM sesungguhnya adalah kondisi yang pernah kita semua alami. Seharusnya pemerintah belajar dari berbagai situasi tersebut agar tidak ada pengulangan kejadian yang merugikan rakyat.
Tidak ada salahnya belajar dari negara-negara seperti Venezuela, Nicaragua, Bolivia, Brasil dan Argentina yang telah berhasil memanfaatkan sejarah lilitan hutang dan jebakan mekanisme pasar bebas. Bahkan bisa keluar dari kondisi shock, sebagaimana halnya apabila ada kenaikan harga BBM. Mereka berhasil mendapatkan kembali harga dirinya dan berjuang merebut keadilan ekonomi dan sosial. Berani bersuara lantang terhadap ketidakadilan global yang merugikan rakyat di negaranya. Bahkan Venezuela dapat membantu negara tetangganya dengan memberi hutang tanpa bunga.
Pengalaman universal menghadapi situasi shock pada saat ada kenaikan harga BBM adalah ketidakberdayaan. Betapa tidak, setiap orang harus berhadapan dengan kekuatan global yang luar biasa; orang tua kehilangan kemampuan untuk menyelamatkan anaknya; istri kehilangan suami atau bahkan komunitas kehilangan sumber penghidupannya. Cara terbaik untuk sembuh dari perasaan tak mampu sebenarnya hanyalah dengan jalan saling membantu, dan memiliki hak untuk menjadi bagian dari komunitas yang senasib. Sangatlah pantas apabila elit masyarakat seperti pengusaha, birokrat dan politisi memotong honornya atau kekayaannya untuk disumbangkan kepada korban kenaikan BBM. Juga menghentikan prilaku boros BBM dengan cara menghentikan penggunaan kendaraan dengan kapasitas 2000 cc.
Sudah waktunya negara ini dikelola oleh orang-orang berpihak pada kepentingan rakyat dan bukan mereka yang menjadi kaki tangan kekuatan ekonomi global. Oleh karenanya kenaikan harga BBM tidak diperlukan. Narasi tentang kejadian kemiskinan karena kenaikan harga BBM sudah tertulis dengan baik dan mudah dibaca. Dan, cerita sesungguhnya adalah tuntutan perusahaan multinasional untuk keberlanjutan keuntungan dan penguasaan atas kekayaan sumberdaya alam kita (SH).
Sri Hardiyanti
Pada saat menaikkan BBM 2005 maupun saat ini, pemerintah pusat mengklaim program kompensasi kenaikan BBM akan menurunkan tingkat kemiskinan. Gubernur Sulut SH Sarundajang pun malah sangat optimis tidak akan ada dampak pemiskinan bagi rakyat Sulut. Tapi pengalaman dari tahun ke tahun menunjukkan setiap ada kenaikan BBM terjadi peningkatan jumlah kemiskinan.
Februari 2005 misalnya, angka kemiskinan absolut naik dari dari 15,97% menjadi 17,75% pada Maret 2006, hanya beberapa bulan setelah kenaikan BBM. Di Sulawesi Utara, laporan pencapaian MDG’s Indonesia 2007 menunjukan, angka kemiskinan yang pada tahun 2000 hanya 8,28%, naik menjadi 14,51% pada tahun 2006. Sulawesi Utara memang tergolong wilayah yang secara ekonomi ditingkat nasional dianggap baik. Namun kecenderungan degradasi kualitas hidup juga meningkat. Sebagai contoh, angka kekurangan gizi balita masih berkisar 23,11%. Sedangkan proporsi jumlah rumah tangga rawan pangan mencapai 20%-30%. Belum lagi karena faktor penurunan kualitas lingkungan dan daya beli di beberapa wilayah kantong kemiskinan.
Pemerintah dan kalangan anggota DPRD Sulut bisa saja mengabaikan masalah ini. Atau menganggap ini bukan masalah Sulut. Atau bisa saja berdiam diri dengan keyakinan bahwa masalah sebentar lagi akan berlalu bersama waktu. Bahkan tanpa beban bisa mengatakan para pendemo kenaikan BBM di Manado adalah bukan warga Sulut tetapi orang luar. Benarkah ini bukan urusan kita semua? Atau benarkah kita tidak sedang menghadapi masalah besar, yaitu kemiskinan?
Mengapa kita miskin? Bukankah kita memiki tanah yang subur dan kekayaan sumberdaya alam berlimpah? Tidak dapat dipungkiri bahwa kita memang kaya. Namun nasib kita seperti tikus yang mati di lumbung padi. Kekayaan alam ternyata bukan hak kita lagi. Bahkan kita menjadi lebih miskin setelah kekayaan itupun dijual.
Sejak akhir tahun 90, tingginya harga minyak justru memberikan beban yang yang sangat berat bagi APBN. Sayangnya, dalam kondisi seperti ini, pemerintah tak punya kemampuan membangun sumberdaya rakyat. Andalan satu-satunya adalah berutang dan menjual migas dan mineral lainnya kepada pihak asing maupun korporasi dalam negeri. Perusahaan yang disokong negara dan punya koneksi dengan kekuatan ekonomi global. Sikap yang kemudian secara sistematis dimanfaatkan kekuatan ekonomi global menerapkan strategi “shock massal” atau kepanikan massal. Ini strategi untuk memaksa pemerintah di negara miskin seperti Indonesia menjual kekayaan alam dan menyesuaikan kebijakan anggaran dengan kepentingan pasar bebas.
Tindakan pemerintah dalam menaikkan BBM mengingatkan kita pada situasi “shock” secara sosial atau kepanikan seperti yang disitir Naomi Klein (The Shock Doctrine, 2007). Diawali dengan perubahan kebijakan ekonomi Amerika Serikat, lalu berimbas pada kenaikan harga minyak yang melampaui asumsi normal. Kemudian berujung pada shock di kalangan pemerintah, pengusaha dan tentu saja rakyat miskin.
Demo, protes, dan kekerasan pun terjadi di mana-mana. Dalam situasi seperti inilah pemerintah ditekan oleh kekuatan ekonomi global untuk menetapkan keputusan yang menguntungkan kepentingan perusahaan-perusahaan multinasional atau transnasional. Terutama keputusan tentang kontrak pengelolaan migas, privatisasi, dan yang paling berdampak tentu saja adalah pemotongan subsidi BBM dan subsidi sosial lainya. Dalam situasi beban anggaran yang besar seperti saat ini, maka negara kreditor memaksa pemerintah untuk memotong subsidi agar tidak mengurangi jumlah pembayaran utang.
Bagi pemerintah sendiri, kenaikan BBM hanya sebuah langkah pengamanan kebijakan. Karena itu, apa pun dampaknya menjadi prioritas kedua. Dimata Menkeu Sri Mulyani misalnya, kenaikan harga BBM hanya untuk mempertahankan keberlanjutan anggaran pendapatan dan belanja negara. Padahal APBN sendiri sangat tidak berpihak pada rakyat. Jadi, kerbelanjutan disini artinya taat membayar utang untuk menyelamatkan muka dimata para kreditor. Atau keberlanjutan kuncuran dana operasional bagi para pejabat tinggi dan politisi yang selama ini sering membuat keputusan yang merugikan rakyat.
Soal utang saja, sudah menghabiskan sekitar Rp. 155 triliun atau 16,7% dana APBN dalam bentuk pembayaran bunga dan cicilan utang luar negeri dan obligasi perbankan Indonesia. Ini juga yang mengakibatkan tidak adanya peningkatan signifikan dalam jumlah Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus untuk daerah-daerah. Andaikan bagi hasil pengelolaan migas dibalik menjadi 80% untuk Indonesia dan 20% untuk perusahaan asing, maka kenaikan harga minyak dunia tentu akan membantu kesejahteraan rakyat.
Masalahnya, kita seperti tidak lagi punya kepekaan dan rasa marah terhadap ketidakadilan global yang kemudian berimbas pada ketidakadilan antara pusat dan daerah, bahkan ketidakadilan terhadap rakyat. Krisis hutang, turunnya nilai rupiah, kenaikan harga BBM sesungguhnya adalah kondisi yang pernah kita semua alami. Seharusnya pemerintah belajar dari berbagai situasi tersebut agar tidak ada pengulangan kejadian yang merugikan rakyat.
Tidak ada salahnya belajar dari negara-negara seperti Venezuela, Nicaragua, Bolivia, Brasil dan Argentina yang telah berhasil memanfaatkan sejarah lilitan hutang dan jebakan mekanisme pasar bebas. Bahkan bisa keluar dari kondisi shock, sebagaimana halnya apabila ada kenaikan harga BBM. Mereka berhasil mendapatkan kembali harga dirinya dan berjuang merebut keadilan ekonomi dan sosial. Berani bersuara lantang terhadap ketidakadilan global yang merugikan rakyat di negaranya. Bahkan Venezuela dapat membantu negara tetangganya dengan memberi hutang tanpa bunga.
Pengalaman universal menghadapi situasi shock pada saat ada kenaikan harga BBM adalah ketidakberdayaan. Betapa tidak, setiap orang harus berhadapan dengan kekuatan global yang luar biasa; orang tua kehilangan kemampuan untuk menyelamatkan anaknya; istri kehilangan suami atau bahkan komunitas kehilangan sumber penghidupannya. Cara terbaik untuk sembuh dari perasaan tak mampu sebenarnya hanyalah dengan jalan saling membantu, dan memiliki hak untuk menjadi bagian dari komunitas yang senasib. Sangatlah pantas apabila elit masyarakat seperti pengusaha, birokrat dan politisi memotong honornya atau kekayaannya untuk disumbangkan kepada korban kenaikan BBM. Juga menghentikan prilaku boros BBM dengan cara menghentikan penggunaan kendaraan dengan kapasitas 2000 cc.
Sudah waktunya negara ini dikelola oleh orang-orang berpihak pada kepentingan rakyat dan bukan mereka yang menjadi kaki tangan kekuatan ekonomi global. Oleh karenanya kenaikan harga BBM tidak diperlukan. Narasi tentang kejadian kemiskinan karena kenaikan harga BBM sudah tertulis dengan baik dan mudah dibaca. Dan, cerita sesungguhnya adalah tuntutan perusahaan multinasional untuk keberlanjutan keuntungan dan penguasaan atas kekayaan sumberdaya alam kita (SH).
0 komentar:
Posting Komentar