Kamis, 07 Agustus 2008

Menimbang Harga Taman Nasional Bogani Nani Wartabone

. Kamis, 07 Agustus 2008

Edisi Juli 2008

Herman Teguh

Taman Nasional Bogani Nani Wartabone (TNBNW) tak cuma punya hutan. Perut buminya juga mengandung emas. Hutan menjaga tata air supaya sawah-sawah di Lembah Dumoga tak kekeringan. Tapi emas adalah logam mulia. Harganya mahal melebihi kayu dan beras (per satuan berat). Lantas, apa yang terjadi dengan TNBNW? Kemilau emas ternyata mengalahkan hijau hutan. Tak peduli apakah kawasan itu dilindungi Pemerintah, ratusan hektar hutannya dirusak, puluhan kilometer sungainya dicemari, semuanya demi mendapatkan emasnya. Pertanyaannya yang menarik, mana yang lebih berharga; emas atau taman nasional?

Ada sekitar 5000 orang (Data BTNBNW 2007) yang tengah menambang dalam Taman Nasional di bagian Dumoga, dan ini menggerakkan operasi dari sekitar 1.000 tromol (perkiraan diturunkan dari angka total 1.850 tromol untuk seluruh Bolmong menurut data Bapedalda Bolmong 2006). Jika masing-masing tromol menghasilkan rata-rata 0,3 gram emas/hari dan harga emas Rp 200.000/gram, maka nilai emasnya adalah Rp. 60 juta per hari, atau Rp. 18 miliar per tahun (dengan asumsi 25 hari kerja per bulan).

Sekarang berapakah nilai TNBNW? Andaikan TNBNW adalah sebuah mesin yang mengendalikan tata air untuk sawah-sawah di sepanjang Sungai Dumoga. Nilai TNBNW dengan begitu akan diduga lewat produksi berasnya. Saat ini, air dari TNBNW mengairi sawah seluas 32.000 ha di Dumoga, yang menghasilkan 167.114 ton beras per tahun (kira-kira 57% dari total produksi Bolmong atau 34% dari total produksi Sulut). Bila angka ini dirupiahkan menurut harga pembelian pemerintah (HPP) yang Rp. 4300/kilogram, maka nilainya adalah Rp. 718,6 miliar per tahun.

Karena produksi beras adalah jasa dari wilayah DAS Dumoga dalam kawasan TNBNW, maka produksi emas juga harus dihitung dari wilayah yang sama. Dalam hal ini, harus dianggap bahwa seluruh wilayah DAS Dumoga yang ada dalam kawasan TNBNW menghasilkan emas. Karena areal PETI yang ada sekarang diasumsikan hanya meliputi 5% dari total luas DAS, maka nilai emas untuk seluruh DAS berarti harus 20 kali lipatnya, atau Rp. 360 miliar. Dari perhitungan sederhana di atas, walaupun seluruh DAS dijadikan areal tambang emas, nilai emas yang diperoleh pun masih di bawah nilai beras.

Tentu saja, perhitungan di atas hanya gambaran kasar, yang belum memperhitungkan banyak hal lainnya, seperti perubahan nilai emas atau beras akibat inflasi, nilai tukar, nilai ekologi dan hidrologi serta faktor depresiasi lingkungan. Sebaliknya risiko penambangan emas juga tidak kecil karena kegiatan ini selalu menggunakan bahan beracun berbahaya (B3) seperti merkuri. Zat-zat ini dapat tersebar mengikuti aliran air, dampaknya dapat meluas keluar dari areal-areal PETI hingga mencemari rantai makanan. Biaya untuk menanggulanginya seharusnya dipotong dari nilai emas yang didapat, dan kalaupun diperhitungkan, nilainya selalu lebih besar dari hasil eksploitasi.

Sesungguhnya TNBNW juga memberi kontribusi terhadap tata air yang menghidupi sekitar 40.000 ha lahan perkebunan, ratusan hektar kolam ikan, dan sumur-sumur warga yang tinggal di kawasan Dumoga. Manfaat ini belum dimasukkan dalam perhitungan tersebut, termasuk manfaat TNBNW sebagai ”ladang air” terbesar di Sulawesi.

Terkait dengan wisatawan, kamar-kamar untuk pengunjung di kompleks Wallacea memang tidak dipasangi AC. Tapi pengunjung tetap merasa nyaman. Mengapa? Karena hutan di sekeliling kompleks mensuplai kamar-kamar itu dengan udara segar dan sejuk. Tapi seandainya hutan itu ditebang, Balai TNBNW tentu harus memasang AC di setiap kamar agar kenyamanan itu kembali. Biayanya tentu tak sedikit. Dengan jumlah kamar yang 10 buah saja, dan setiap kamar membutuhkan mesin AC ½ pk, total biayanya sudah mencapai Rp. 20 juta (harga mesin AC disini Rp. 2 juta/buah). Ini baru pengadaan alat, belum biaya servis dan operasionalnya.

Kemampuan TNBNW untuk meredam banjir juga harus dihitung. Nilainya bisa diduga misalnya dari total nilai investasi yang dilindunginya di sepanjang aliran sungai Dumoga. Dan ini bisa milyaran rupiah karena terdiri dari jembatan, jalan, serta bangunan-bangunan lain. Asumsi dalam hal ini, jika TNBNW digunduli dan sungai Dumoga mengalami banjir, semua bangunan itu akan rusak.

Tapi apakah nilai TNBNW hanya air dan udara bersih saja? Tidak. TNBNW menjalankan banyak sekali fungsi yang kebanyakan tidak kentara. Memang rasanya mustahil untuk mencatat semua jasa yang diberikan. Tapi coba bayangkan, sejumlah tanaman buah ternyata tak akan berbuah tanpa pertolongan serangga atau satwa-satwa tertentu dari dalam TNBNW. Durian misalnya, tak akan berbuah tanpa bantuan penyerbukan dari kelelawar-kelelawar tertentu.

Fungsi yang lain yaitu mendaur zat-zat hara untuk kesuburan tanah, menyediakan obat-obatan, bibit tanaman, dan juga menyediakan ciri serta sifat-sifat tertentu yang dibutuhkan oleh ahli-ahli genetik untuk menghasilkan bibit unggul. Jika semua nilai seperti ini kita tambahkan ke nilai sawah dan beras di atas, sangsikah kita untuk mengatakan bahwa emas lebih bernilai dari TNBNW?

Nilai TNBNW memang kebanyakan tak bersifat cash. Lebih berupa “investasi”, yang bunganya akan dinikmati manusia dalam bentuk jasa lingkungan jangka panjang dengan nilai yang terus-menerus melampaui harga pasar. Sebaliknya, emas bukan sumberdaya yang bisa dibarukan. Lewat rantai perdagangan, logam mulia ini akan mengalir ke luar Dumoga, dan pasti akan habis. Pada saat itu, orang boleh saja membayangkan bahwa Lembah Dumoga sudah makmur. Tapi jangan lupa, gaya hidup boros, kejam, dan merusak alam di areal-areal tambang rakyat sekarang, justru hanya akan mewariskan kemiskinan, kekerasan, dan bencana alam di masa depan. Tidak pernah ada bukti sejarah bahwa pertambangan menghadirkan kemakmuran.(Periset data: Meilyn Pathibang, Karel Polakitan, Raymoond Mudami)

0 komentar:

 
Namablogkamu is proudly powered by Blogger.com | Template by o-om.com