Kamis, 07 Agustus 2008

Perjalanan Cincin Emas di Jari Anda

. Kamis, 07 Agustus 2008

Edisi Juli 2008

Sri Hardiyanti

APAKAH harga cincin emas 10 gram di jari Anda setara dengan biayanya? Nilai jual di pasar 45 Manado adalah Rp 2,8 juta. Ini memang masih tergolong mahal untuk orang miskin. Tapi cerita yang benar adalah harga cincin tersebut seharusnya lebih mahal dari itu.

Menurut kalkulasi Earthworks dan Oxfam Amerika, untuk memperoleh emas 10 gram, sebuah perusahaan tambang harus membuang 7,9 ton limbah batuan dan 18-20 ton limbah tailing mengandung bahan beracun dan berbahaya (B3) seperti merkuri, kadmium, arsenik. Ini belum termasuk 1.040 liter air yang digelontorkan, sekian hektar lahan dan sumber kehidupan rakyat sekitar yang diambil-alih atau dirusak, dan sekian luas hutan yang dibabat habis.

Untuk mendapatkan emas, dibutuhkan bahan-bahan kimia beracun seperti sianida dan merkuri. Semua itu pada akhirnya akan dibuang ke sungai, danau, laut, udara, dan mencemari air minum, sawah dan kolam serta mengganggu kesehatan baik pekerja maupun masyarakat setempat. Operasi pertambangan emas juga akan meninggalkan jejak kerusakan sosial, mengusir penduduk dari rumah mereka, dan menghilangkan sumber penghidupan mereka. Namun cerita ini tak pernah mengurungkan niat orang menggunakan emas. Bahkan tak menyurutkan hasrat perusahaan multi nasional maupun nasional untuk lebih banyak lagi mengeruk emas.

Selama ribuan tahun, emas telah mendapat tempat istimewa dalam pesta dan upacara. Namun sekarang, cara lama telah bertemu dengan konsep baru. Konsumen kaya di Shanghai dan Mumbai misalnya, merupakan konsumen yang selalu memicu kenaikan harga emas untuk perhiasan maupun mahar. Sementara Amerika Serikat tidak hanya negara dengan jumlah konsumen emas terbesar kedua dunia. Tapi juga pemegang kuasa pertambangan emas terbesar dunia yang menguasai sekitar 8,134 ton emas senilai USD 122 miliar yang juga sangat menentukan harga emas dunia (New York Times, October 24, 2005).

Pada Maret 2008, harga emas dunia naik mencapai USD 1.000 per-ons. Kenaikan terus-menerus seperti ini juga berbanding dengan kenaikan jumlah eksploitasi emas oleh perusahaan-perusahaan multi nasional yang beroperasi di berbagai negara miskin seperti Indonesia. Sebanding dengan peningkatan keuntungan perusahaan pertambangan emas. Dan, yang pasti berbanding terbalik dengan peningkatan biaya sosial yang harus dibayar masyarakat setempat dan risiko kehancuran lingkungan di mana pertambangan tersebut beroperasi. Berbagai laporan internasional menunjukkan selang 1995-2015, pasokan emas dunia bersumber dari berbagai wilayah/tanah adat di berbagai belahan dunia, yang dibiarkan miskin setelah emasnya dijarah. Tragisnya, 80% di antaranya dihabiskan untuk perhiasan.

Petaka emas sebetulnya sudah menjadi masalah bagi rakyat Indonesia atau rakyat Sulawesi selama berabad-abad. Mulai dari kehadiran Nederland Mynbouw Maschapij (NMM) pada 1887, Newmont Gold Company/Newmont Minahasa Raya (1993-2006) hingga perusahaan pemegang kontrak karya atau kuasa pertambangan generasi berikutnya seperti Meares Soputan Mining, Avocet, dan East Asia yang menguasai kawasan Minahasa Utara, Bolaang Mongondow, dan Sangihe saat ini. Penguasa rejim demokrasi yang menggantikan rejim feodal tempo doeloe juga memperpanjang kemelut tambang emas. Bahkan ada yang “menyewakan” kekuasaannya kepada berbagai kelompok masyarakat yang tidak beruntung dalam pembangunan, alias penambang tanpa izin maupun kepada perusahaan-perusahan lokal pemburu emas.

Kisah tambang emas menjadi seperti episode dalam film Lord Of The Rings, yang menghadirkan cincin sebagai suatu kutukan. Sumberdaya mineral di Indonesia tidak bermanfaat untuk meningkatkan kesejahteraan tetapi menghancurkan lingkungan dan masyarakat di lokasi sumberdaya mineral itu berada. Tak ada perlindungan hukum, tak ada pahlawan, tak ada kesaktian Amdal, dan tak ada lelehan ekonomi yang menolong situasi di kawasan pertambangan. Miris rasanya melihat bagaimana begitu banyak emas diambil dan dihasilkan di tengah-tengah kemiskinan dan degradasi lingkungan di sekitar kawasan pertambangan.

Lalu, adakah pertambangan yang ramah lingkungan? Pertanyaan ini menggoda banyak orang mulai dari kalangan pengusaha sendiri, pemerintah bahkan aktivis lingkungan dan hak azasi. Sulit menjawabnya karena ensiklopedi, kamus, dan catatan sejarah sudah dipenuhi dengan cerita tambang yang menghancurkan. Hukum dan kebijakan kita memang punya kosa kata tentang ramah lingkungan dan adil, tapi tak punya roh tentang itu.

Pertambangan ramah lingkungan saat ini memang hanya ada dalam tradisi leluhur di berbagai wilayah yang berburu emas sekadar pelengkap upacara. Dan karena dalam konteks tradisi, maka pengelolaannya tidak pernah dilakukan dengan cara menghancurkan lingkungan dan entitas sosial di mana tradisi itu berpijak. Tetapi mungkinkah itu? Di sinilah dilemanya. Ekstraksi emas sudah bergeser jauh menjadi komoditas yang tidak hanya bernilai ekonomi tinggi, tapi juga sudah menjadi sumber kekuasaan.

Tak banyak pilihan dan juga tak banyak cerita sukses pertambangan ramah lingkungan atau tambang yang adil dan peduli rakyat. Semua ini tidak perlu membuat kita berhenti berpikir, apalagi berhenti berbuat. Komitmen, keberanian dan kecerdasan sangat diperlukan untuk menghadang petaka di balik kemilau emas. Setidaknya, kenyataan harga cincin emas yang identik dengan marjinalisasi rakyat dan penghancuran lingkungan seharusnya membuat kita malu. Atau bisa membuat setiap orang say no terhadap pertambangan atau lebih berani menolak kegiatan pertambangan.

1 komentar:

WARANEY mengatakan...

mantap tu blog, mar dapa lia so lama nyanda update kang?

sebagian publikasi lestari yang kita da beking kita da posting di waraneyminahasa.blogspot.com

 
Namablogkamu is proudly powered by Blogger.com | Template by o-om.com