Kamis, 07 Agustus 2008

Carut Marut Regulasi Pertambangan - Mengancam Keberlanjutan Lingkungan

. Kamis, 07 Agustus 2008

Edisi Juli 2008

Fary SJ Oroh

DI Indonesia, kemilau emas benar-benar mempesona. Persoalan lingkungan pun diabaikan. Bukti teraktual adalah manuver kalangan pengusaha tambang dan politisi di DPR yang berusaha menggolkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Mineral dan Batubara (Minerba). Belum lagi soal pemberlakuan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 2 Tahun 2008 awal Februari lalu. PP ini melegalisasi penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan, dengan kompensasi pengusaha membayar pungutan non pajak.

Pemerhati lingkungan menilai RUU Minerba berpotensi menghancurkan lingkungan dan menyingkirkan rakyat dari berbagai wilayah yang memiliki deposit mineral. Sebaliknya kalangan pengusaha tambang menilai RUU ini tidak memberikan keleluasaan menggunakan kawasan lindung. Lain halnya dengan PP No.2 Tahun 2008. Meskipun memperberat beban biaya atau pungutan, namun kalangan pengusaha tidak memprotes. Bahkan sebaliknya gembira karena berapapun nilai pungutan, toh PP ini telah memberikan legitimasi untuk beroperasi di kawasan hutan.

Dalam PP No. 2 Tahun 2008, hutan yang memiliki fungsi ekonomi dan ekologis yang begitu luar biasa, dibanderol dengan angka kompensasi Rp 1,2 juta hingga Rp 3 juta per hektar per tahun. Artinya, satu meter luasan hutan lindung nilainya hanya sekitar Rp 300, meski pemerintah kemudian menjelaskan bahwa masih ada pemasukan ke kas negara yang lebih besar di luar poin kompensasi tersebut.

GANJALAN PERTAMBANGAN
Undang-undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan memang sudah sejak lama menjadi ‘duri dalam daging’ para investor pertambangan. UU ini dinilai sebagai ganjalan utama investasi pertambangan di Indonesia. Tak heran berbagai upaya dilakukan untuk menyiasati UU ini. Celah pun diciptakan melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No. 1 Tahun 2004 yang kemudian ditetapkan menjadi UU No.19 tahun 2004. Isinya menyatakan semua perizinan atau perjanjian di bidang pertambangan di kawasan hutan yang telah ada sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999, dinyatakan tetap berlaku sampai berakhirnya izin atau perjanjian dimaksud. Ini jelas menganulir pasal 38 UU No.41 Tahun 1999 yang melarang penambangan terbuka di kawasan lindung.

Seakan belum cukup, pemerintah kemudian mengeluarkan Keppres No. 41 Tahun 2004, yang melegalkan 13 perusahaan tambang beroperasi di hutan lindung, termasuk PT Inco di Sulsel, Sulteng dan Sultra, PT Antam di Sulsel, Sultra, dan Maluku Utara. Anehnya, pada Agustus 2004 pemerintah menelorkan UU No.21 Tahun 2004 tentang Ratifikasi Protokol Cartagena, protokol tentang perlindungan keanekaragaman hayati.

Di Sulawesi Utara, tidak satu pun dari tujuh perusahaan pemegang kontrak karya yang mendapatkan keleluasan dari pelaksanaan UU No.19 tahun 2004 dan PP No.2 tahun 2008 ini. Namun demikian, kelonggaran yang terdapat pada kedua regulasi ini masih tetap memberi ruang bagi PT MSM, PT Avocet dan PT East Asia untuk beroperasi.

GODAAN INVESTASI
Investasi merupakan alasan utama pemerintah melegalkan berbagai usaha pertambangan. Ini antara lain didukung dengan UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal untuk mengganti UU Nomor 1 Tahun 1967 dan UU No.11 Tahun 1970 tentang Penanaman Modal Asing. Dengan UU ini pengusaha mendapat kemudahan Hak Guna Usaha selama 95 tahun yang dapat diperpanjang di muka sekaligus selama 60 tahun dan dapat diperbarui selama 35 tahun. Juga Hak Guna Bangunan selama 80 tahun, serta Hak Pakai selama 70 tahun yang dapat diperpanjang dan diperbarui.

Peluang investasi tambang sebetulnya sudah dibuka sejak adanya Keputusan Presiden (Keppres) No. 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung. Jika di kawasan lindung terindikasi adanya deposit mineral, air tanah dan kekayaan lainnya, maka kegiatan pertambangan di kawasan lindung diizinkan. Celakanya, jika ada masyarakat yang mengelola sumberdaya alam berdasarkan kearifan mereka, alasan mempertahankan kawasan lindung sering dipakai untuk mengusir warga.

Kalangan pemerintah sendiri mengakui ada tumpang tindih regulasi. Marly Gumalag, Kasubdin Pertambangan Umum Dinas Pertambangan dan Energi Sulut, dan Sonny Runtuwene, Kasubdin AMDAL BPLH Sulut juga mengeluhkan hal ini dalam Round Table Discussion (RTD) Yayasan Lestari di Manado bulan ini. “Jadi memang dari pemerintah sendiri terkesan ada keragu-raguan,” kata Gumalag. Hal yang sama juga menjadi kesimpulan Temu Komunikasi PSDA Sulawesi yang digelar Yayasan Lestari bulan ini di Palu.

MASALAH WAKTU
Dengan dibukanya peluang melakukan usaha tambang di kawasan lindung, maka alih-fungsi kawasan lindung di berbagai daerah di Indonesia tinggal menunggu waktu. Di Sulawesi Utara dan Gorontalo, kalangan pengusaha dan sejumlah politisi ngotot menggolkan sejumlah pertambangan. Gubernur Gorontalo, Fadel Muhammad pun sangat antusias mendorong beroperasinya PT Gorontalo Minerals dan PT Gorontalo Sejahtera Mining yang berlokasi di Taman Nasional Bogani Nani Wartabone (TNBNW). Lain lagi bagi Gubernur Sulut SH Sarundajang dan Gubernur Sulawesi Tengah H.Bandjela Paliudju. Gubernur Sarundajang memang menolak pengoperasian PT Meares Soputan Mining (MSM) maupun PT Avocet, namun membiarkan eksplorasi PT East Asia di Sangihe. Gubernur Paliudju pun juga menolak kehadiran perusahaan tambang skala besar namun tak berdaya menghadapi pertambangan skala kecil tapi massif, yang memperoleh kuasa pertambangan dari para Bupati.

Besarnya potensi emas di TNBNW tidak hanya mengundang minat perusahan besar. Tetapi juga penambang perorangan maupun kelompok, yang dijuluki penambang liar, sungguhpun mereka selalu membayar pungutan resmi kepada aparat Pemkab Bolaang Mongondow. Perkiraan Balai TNBNW tahun 2007 penambang yang beroperasi di lahan seluas 591,5 ha di kawasan ini mencapai 11.200 orang. Pemkab Bolaang Mongondow sendiri, dengan alasan PAD, terkesan membiarkan perkembangannya. Padahal proyeksi perolehan APBD 2008 dari sektor ini hanya berkisar Rp 800 juta saja.

Kehadiran penambang rakyat memang memberikan penghasilan bagi rakyat dan kontribusi bagi PAD. Namun keberadaannya berdampak buruk terhadap manusia. “Yang diperlukan adalah bagaimana menghentikan pasokan merkuri. Namun harus dipikirkan dengan matang karena menyangkut hajat hidup orang banyak,” kata Sonny Runtuwene.

Carut marutnya regulasi pertambangan merupakan masalah serius. Hal ini sangat sulit diatasi apabila kepentingan ekonomi masih saja menjadi pilihan utama yang mengabaikan kepentingan keadilan ekologi. (Tim Periset: Arief Hariyadi, Erick Rarumangkay, Reymoond Mudami, Karel Polakitan, Meilyn Pathibang, Kabut Awansyah, Rio Ismail).

0 komentar:

 
Namablogkamu is proudly powered by Blogger.com | Template by o-om.com