Edisi Juni 2008
Rio Ismail
Direktur Ecological Justice, Jakarta
Apa kedaulatan pangan (food sovereignty), dan mengapa kita tak lagi punya kedaulatan pangan? Ini sebetulnya bukan isi baru, walaupun bagi kalangan yang terbiasa dengan pandangan mainstream tentang pangan, seakan barang aneh. Istilah ini kedaulatan pangan pertama kalinya digunakan. Sering didefinisikan sebagai hak setiap orang atau komunitas bahkan negara untuk menentukan kebijakan pangan dengan memprioritaskan produksi pangan lokal untuk kebutuhan sendiri. Termasuk hak menentukan ketersediaan tanah, air, benih, jenis pangan, cara memproduksi, jenis teknologi, hubungan produksi, distribusi dan keamanan pangan yang akan dikonsumsi ataudipasarkan.
Konsep ini di dalamnya mengandung pengertian tentang hak-hak perempuan dan berbagai kelompok minoritas untuk menentukan akses dan control terhadap pangan sebagai sumber kehidupan. Kandungan lainnya adalah larangan terhadap praktek perdagangan pangan yang didominasi atau dikendalikan negara-negara industri atau produsen teknologi benih, pestisida dan pupuk.
Konsep food sovereignty diperkenalkan organisasi buruh tani dan petani dunia La Via Campesina pada saat badan PBB, Food Agricultural Organization (FAO) mengadakan World Food Summit dan mengeluarkan Deklarasi Roma tentang ketahanan pangan (food security) pada 1996 di Roma. Ini adalah alternatif terhadap konsep ketahanan pangan, bahkan belakangan orang-orang di PBB pun mengadopsinya. Ketahanan pangan merupakan konsep yang dianut oleh Undang-Undang No.7 Tahun 1996 tentangan Pangan. Tujuannya adalah terpenuhinya kebutuhan pangan bagi rumah tangga (pasal 1 ayat 17). Fungsi pemerintah dalam konsep ini adalah mengatur, mengendalikan, dan mengawasi ketersediaan pangan dalam jumlah yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, bergizi, beragam, merata, dan terjangkau oleh daya beli masyarakat (pasal 45).
DARI SWASEMBADA MENJADI PENGIMPOR
Konsep kedaulatan pangan menjadi penting didiskusikan kembali karena beberapa hal penting. Pertama, mandat konstitusi maupun Undang-Undang No.7 Tahun 1996 tidak terwujud. Bangsa ini hanya bisa membangun ketahanan pangan yang berbasis pada teknologi yang dikendalikan pelaku binis pertanian. Intinya adalah polotisasi beras, pengendalian pola konsumsi, dan “depolitisasi” pangan non beras.
Kedua, transformasi kultur dan struktur pertanian sejak akhir 60-an telah berjalan mengiktui deret ukur laju modernisasi. Awalnya berbasis pada bioteknologi (revolusi hijau), yang sering diidentikkan dengan pencetakan sawah baru dan pengadaan pupuk kimia, pestisida dan benih hybrid atau organisme hasil rekayasa genetik (Genetic ally Modified Organism). Dampaknya tidak hanya memarjinkan penghasilan petani, tetapi juga pencemaran pada rantai makanan.
Belakangan basis utama transformasi ini sudah bergeser ke corporate farming. Ini identik dengan pertanian skala besar, dimana faktor produksi dikuasai oleh perusahaan besar, dan petani lebih banyak berperan sebagai buruh pertanian atau petani miskin dengan lahan yang kurang dari 0,5 hektar. Tragisnya, kedua fase transformasi ini dilegalisasi dengan UU No.12 Tahun 1992 tentang Sistem Budaya Tanaman, Peraturan Pemerintah No.44 Tahun 1995 tentang Pembenihan Tanaman dan UU No.7 Tahun 1996 tentang Pangan. Indonesia pun akhirnya menjadi pengimpor beras terbesar dan mengikuti kepakatan dengan Organisasi Perdagangan Dunia (Word Trade Organization/WTO) setelah diberlakukannya UU No.7 Tahun 1994 tentang ratifikasi pendirian WTO.
WTO berhasil mendikte Indonesia untuk tunduk pada Agreement on Agricultural (AoA) dan beberapa kesepakatan terkait yang merugikan petani. Yaitu Trade Related Intellectual Property Rights yang mengatur hak paten atas tanaman hasil rekayasa genetika; Sanitary and Phytosanitary yang mengatur karantina impor produk pertanian; dan Technical Barriers to Trade yang mengatur standardisasi produk, termasuk produk pertanian (Rio Ismail, dalam Liberalisasi Pertanian dan Kekerasan Ekologi, 2006). Kesepakatan inilah yang membuat Indonesia tidak pernah bisa mengekspor, bahkan sebaliknya menjadi pengimpor tetap terbesar komoditas beras, kedele, jagung, gula, gandum, dan buah-buahan.
Ketiga, perubahan-perusahaan besar pertanian di Negara-negara industri dengan semena-mena telah mengalihkan produksi pertanian pangan untuk biofuel. Alasannya mengurangi emisi carbon dengan cara menggunakan bahan bakar non fosil. Akibatnya kebutuhan pangan melonjak, dan pada akhirnya berakibat naiknya harga pangan dunia, menyusul kenaikan harga BBM. Inilah yang dimudian dinilai oleh PBB sebagai suatu bentuk pelanggaran hak azasi manusia. Gara-gara kelakuan negara-negara kaya, harga pangan melonjak 120% sejak akhir tahun silam, dan berdampak terhadap sekitar 78 negara miskin di dunia termasuk Indonesia. Karenanya asisten Direktur Jenderal FAO, Hafez Ghanem menyebutkan negara-negara miskin sejak tahun 2000 harus menaikkan biaya pangannya sebesar 40% (CNN.com, 22 Mei 2008).
MENCERMATI “PROYEK LAPAR”
Aspek keempat yang mendasari pentingnya mendiskusikan kedaulatan pangan adalah kencederungan baru pasca kenaikan harga BBM dan harga pangan saat ini. Yang paling kuat pengaruhnya adalah konversi lahan pertanian dan produk pangan untuk kepentingan biofuel. Belum lepas dari situasi pemotongan subsidi BBM, lalu kenaikan harga pangan yang tidak diikuti dengan peningkatan subsidi sosial. Kini kita menghadapi kecenderungan pengalihan lahan untuk perkebunan sawit yang akan memproduksi biofuel. Dalam situasi seperti ini, kita pun menghadapi tindakan negara-negara industri yang menggunakan isu pemanasan global dan krisis pangan sebagai “shock theraphy”. Tujuannya adalah memaksa banyak negara miskin untuk melakukan program penyesuaian struktural (Structural Adjustment Program) dibawah kendali negara kuat seperti Amerika Serikat dan beberapa negara produsen pertanian lainnya seperti China, Jepang, India dan Uni Eropa.
Untuk mengatasi kelaparan dan krisis pangan saat ini, PBB mengatakan memerlukan dana sekitar $ 500 miliar AS. Presiden Amerika Serikat George W. Bush pun langsung mengumumkan bahwa negaranya menyediakan dana sekitar $ 200 miliar dolar untuk kebutuhan tersebut (CNN.Com, 21 April 2008). Perusahaan benih dari Amerika Serikat dan China pun ikut berlomba menyiapkan benih beras transgenik baru yang tahan terhadap perubahan iklim. China malah sudah menemukan gen padi Ghd7 yang lebih adaptif terhadap situasi dimana padi tersebut disemai (Kompas, 6 Mei 2008).
Siapa yang harus membeli benih dan teknologi produksi ini di balik “proyek lapar” ini? Tidak lain adalah negara miskin seperti Indonesia, yang selama ini menggunakan pestisida dan bahan baku pupuk yang dipasok paerusahaan pertanian Amerika Serikat dan perusahaan benih dari China. Belajar dari sejarah, perkembangan pertanian biofuel ini akan menjadi episode ketiga dari transformasi pertanian yang memiskinkan dan merusak lingkungan.
Berlajar dari kasus industri pulp (bubur) dan kertas maupun hutan sawit di Sumatra dan Kalimantan, yang didanai oleh Export Credit Agency’s (ECA) dan Asian Development Bank (ADB), Indonesia akan menjadi eksportir biofuel. Itu artinya, Indonesia digiring untuk memenuhi kebutuhan devisa; menjamin kepastian pembayaran utang luar negeri; dan menjamin kebutuhan konsumsi masyarakat di negara-negara industri. Tetapi resikonya adalah, Indonesia akan menuai pencemaran lingkungan, kerusakan ekosistem, bahkan banjir, longsor, kekeringan dan akhirnya pemiskinan, seperti halnya dalam industri pulp dan kertas.
Memperkuat kedaulatan pangan adalah cara terbaik untuk memotong bisnis pangan internasional yang merugikan nagara-negara miskin, terumata kaum miskin di berbagai wilayah yang tidak tersentuh pelayanan Negara. Alam sudah tidak punya kemampuan lagi untuk menumbukan dan menyebuhkan dirinya. Diperlukan langkah mendasar banyak pihak untuk tidak begitu saja menyerahkan kemaslahatan kehidupan bersama pada keputusan segelintir pengusaha dan politisi busuk.
Rio Ismail
Direktur Ecological Justice, Jakarta
Apa kedaulatan pangan (food sovereignty), dan mengapa kita tak lagi punya kedaulatan pangan? Ini sebetulnya bukan isi baru, walaupun bagi kalangan yang terbiasa dengan pandangan mainstream tentang pangan, seakan barang aneh. Istilah ini kedaulatan pangan pertama kalinya digunakan. Sering didefinisikan sebagai hak setiap orang atau komunitas bahkan negara untuk menentukan kebijakan pangan dengan memprioritaskan produksi pangan lokal untuk kebutuhan sendiri. Termasuk hak menentukan ketersediaan tanah, air, benih, jenis pangan, cara memproduksi, jenis teknologi, hubungan produksi, distribusi dan keamanan pangan yang akan dikonsumsi ataudipasarkan.
Konsep ini di dalamnya mengandung pengertian tentang hak-hak perempuan dan berbagai kelompok minoritas untuk menentukan akses dan control terhadap pangan sebagai sumber kehidupan. Kandungan lainnya adalah larangan terhadap praktek perdagangan pangan yang didominasi atau dikendalikan negara-negara industri atau produsen teknologi benih, pestisida dan pupuk.
Konsep food sovereignty diperkenalkan organisasi buruh tani dan petani dunia La Via Campesina pada saat badan PBB, Food Agricultural Organization (FAO) mengadakan World Food Summit dan mengeluarkan Deklarasi Roma tentang ketahanan pangan (food security) pada 1996 di Roma. Ini adalah alternatif terhadap konsep ketahanan pangan, bahkan belakangan orang-orang di PBB pun mengadopsinya. Ketahanan pangan merupakan konsep yang dianut oleh Undang-Undang No.7 Tahun 1996 tentangan Pangan. Tujuannya adalah terpenuhinya kebutuhan pangan bagi rumah tangga (pasal 1 ayat 17). Fungsi pemerintah dalam konsep ini adalah mengatur, mengendalikan, dan mengawasi ketersediaan pangan dalam jumlah yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, bergizi, beragam, merata, dan terjangkau oleh daya beli masyarakat (pasal 45).
DARI SWASEMBADA MENJADI PENGIMPOR
Konsep kedaulatan pangan menjadi penting didiskusikan kembali karena beberapa hal penting. Pertama, mandat konstitusi maupun Undang-Undang No.7 Tahun 1996 tidak terwujud. Bangsa ini hanya bisa membangun ketahanan pangan yang berbasis pada teknologi yang dikendalikan pelaku binis pertanian. Intinya adalah polotisasi beras, pengendalian pola konsumsi, dan “depolitisasi” pangan non beras.
Kedua, transformasi kultur dan struktur pertanian sejak akhir 60-an telah berjalan mengiktui deret ukur laju modernisasi. Awalnya berbasis pada bioteknologi (revolusi hijau), yang sering diidentikkan dengan pencetakan sawah baru dan pengadaan pupuk kimia, pestisida dan benih hybrid atau organisme hasil rekayasa genetik (Genetic ally Modified Organism). Dampaknya tidak hanya memarjinkan penghasilan petani, tetapi juga pencemaran pada rantai makanan.
Belakangan basis utama transformasi ini sudah bergeser ke corporate farming. Ini identik dengan pertanian skala besar, dimana faktor produksi dikuasai oleh perusahaan besar, dan petani lebih banyak berperan sebagai buruh pertanian atau petani miskin dengan lahan yang kurang dari 0,5 hektar. Tragisnya, kedua fase transformasi ini dilegalisasi dengan UU No.12 Tahun 1992 tentang Sistem Budaya Tanaman, Peraturan Pemerintah No.44 Tahun 1995 tentang Pembenihan Tanaman dan UU No.7 Tahun 1996 tentang Pangan. Indonesia pun akhirnya menjadi pengimpor beras terbesar dan mengikuti kepakatan dengan Organisasi Perdagangan Dunia (Word Trade Organization/WTO) setelah diberlakukannya UU No.7 Tahun 1994 tentang ratifikasi pendirian WTO.
WTO berhasil mendikte Indonesia untuk tunduk pada Agreement on Agricultural (AoA) dan beberapa kesepakatan terkait yang merugikan petani. Yaitu Trade Related Intellectual Property Rights yang mengatur hak paten atas tanaman hasil rekayasa genetika; Sanitary and Phytosanitary yang mengatur karantina impor produk pertanian; dan Technical Barriers to Trade yang mengatur standardisasi produk, termasuk produk pertanian (Rio Ismail, dalam Liberalisasi Pertanian dan Kekerasan Ekologi, 2006). Kesepakatan inilah yang membuat Indonesia tidak pernah bisa mengekspor, bahkan sebaliknya menjadi pengimpor tetap terbesar komoditas beras, kedele, jagung, gula, gandum, dan buah-buahan.
Ketiga, perubahan-perusahaan besar pertanian di Negara-negara industri dengan semena-mena telah mengalihkan produksi pertanian pangan untuk biofuel. Alasannya mengurangi emisi carbon dengan cara menggunakan bahan bakar non fosil. Akibatnya kebutuhan pangan melonjak, dan pada akhirnya berakibat naiknya harga pangan dunia, menyusul kenaikan harga BBM. Inilah yang dimudian dinilai oleh PBB sebagai suatu bentuk pelanggaran hak azasi manusia. Gara-gara kelakuan negara-negara kaya, harga pangan melonjak 120% sejak akhir tahun silam, dan berdampak terhadap sekitar 78 negara miskin di dunia termasuk Indonesia. Karenanya asisten Direktur Jenderal FAO, Hafez Ghanem menyebutkan negara-negara miskin sejak tahun 2000 harus menaikkan biaya pangannya sebesar 40% (CNN.com, 22 Mei 2008).
MENCERMATI “PROYEK LAPAR”
Aspek keempat yang mendasari pentingnya mendiskusikan kedaulatan pangan adalah kencederungan baru pasca kenaikan harga BBM dan harga pangan saat ini. Yang paling kuat pengaruhnya adalah konversi lahan pertanian dan produk pangan untuk kepentingan biofuel. Belum lepas dari situasi pemotongan subsidi BBM, lalu kenaikan harga pangan yang tidak diikuti dengan peningkatan subsidi sosial. Kini kita menghadapi kecenderungan pengalihan lahan untuk perkebunan sawit yang akan memproduksi biofuel. Dalam situasi seperti ini, kita pun menghadapi tindakan negara-negara industri yang menggunakan isu pemanasan global dan krisis pangan sebagai “shock theraphy”. Tujuannya adalah memaksa banyak negara miskin untuk melakukan program penyesuaian struktural (Structural Adjustment Program) dibawah kendali negara kuat seperti Amerika Serikat dan beberapa negara produsen pertanian lainnya seperti China, Jepang, India dan Uni Eropa.
Untuk mengatasi kelaparan dan krisis pangan saat ini, PBB mengatakan memerlukan dana sekitar $ 500 miliar AS. Presiden Amerika Serikat George W. Bush pun langsung mengumumkan bahwa negaranya menyediakan dana sekitar $ 200 miliar dolar untuk kebutuhan tersebut (CNN.Com, 21 April 2008). Perusahaan benih dari Amerika Serikat dan China pun ikut berlomba menyiapkan benih beras transgenik baru yang tahan terhadap perubahan iklim. China malah sudah menemukan gen padi Ghd7 yang lebih adaptif terhadap situasi dimana padi tersebut disemai (Kompas, 6 Mei 2008).
Siapa yang harus membeli benih dan teknologi produksi ini di balik “proyek lapar” ini? Tidak lain adalah negara miskin seperti Indonesia, yang selama ini menggunakan pestisida dan bahan baku pupuk yang dipasok paerusahaan pertanian Amerika Serikat dan perusahaan benih dari China. Belajar dari sejarah, perkembangan pertanian biofuel ini akan menjadi episode ketiga dari transformasi pertanian yang memiskinkan dan merusak lingkungan.
Berlajar dari kasus industri pulp (bubur) dan kertas maupun hutan sawit di Sumatra dan Kalimantan, yang didanai oleh Export Credit Agency’s (ECA) dan Asian Development Bank (ADB), Indonesia akan menjadi eksportir biofuel. Itu artinya, Indonesia digiring untuk memenuhi kebutuhan devisa; menjamin kepastian pembayaran utang luar negeri; dan menjamin kebutuhan konsumsi masyarakat di negara-negara industri. Tetapi resikonya adalah, Indonesia akan menuai pencemaran lingkungan, kerusakan ekosistem, bahkan banjir, longsor, kekeringan dan akhirnya pemiskinan, seperti halnya dalam industri pulp dan kertas.
Memperkuat kedaulatan pangan adalah cara terbaik untuk memotong bisnis pangan internasional yang merugikan nagara-negara miskin, terumata kaum miskin di berbagai wilayah yang tidak tersentuh pelayanan Negara. Alam sudah tidak punya kemampuan lagi untuk menumbukan dan menyebuhkan dirinya. Diperlukan langkah mendasar banyak pihak untuk tidak begitu saja menyerahkan kemaslahatan kehidupan bersama pada keputusan segelintir pengusaha dan politisi busuk.
0 komentar:
Posting Komentar