Edisi Juni 2008
Fary SJ Oroh
BIOFUEL, bahan bakar yang dihasilkan dari tanaman, disebut-sebut sebagai alternatif sumber energi, guna mengganti minyak dan gas yang diolah dari sisa-sisa fosil. Tapi kenapa biofuel disebut sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan? Adalah Jean Ziegler, pakar dari United Nation (PBB) yang pertama kali menyatakan kalau biofuel itu a crime against humanity (Associated Press, 27 Juni 2007). Ia punya alasan mendasar: pengalihan beberapa bentuk produk pangan maupun areal pertanian pangan untuk memproduksi biofuel secara langsung menyebabkan kelangkaan pangan dan kelaparan bagi kaum miskin di berbagai belahan dunia.
Penggunaan bahan pangan sebagai bahan dasar untuk membuat biofuel telah dikembangkan sejumlah negara, seperti Brasil dan Amerika Serikat (AS). Bahkan presiden AS George Bush dan presiden Brasil Luiz Inacio Lula da Silva, yang dikenal beraliran sosialis dan suka melawan kebijakan ekonomi Amerika, pun telah menandatangani kesepakatan untuk mengembangkan etanol, sebagai bahan dasar biofuel. Bagi Bush dan Lula, pengembangan bahan bakar alternatif dari tumbuhan ini ramah lingkungan, dan akan menciptakan banyak lapangan kerja. Dan yang terpenting adalah bisa menghentikan ketergantungan pada minyak bumi.
Bagi banyak kalangan aktifis lingkungan, konversi lahan pertanian untuk agro industri (biofuel) adalah langkah yang nampak berbau ekologis tetapi sarat dengan latar belakang kepentingan jangka panjang yang bisa merusak lingkungan. Ziegler pun, kendati tidak menyebut kesepakatan kedua pemimpin negara itu salah, namun menilai bahwa dampak transformasi ratusan bahkan ribuan ton jagung, gandum, kacang-kacangan dan minyak kelapa sawit menjadi biofuel merupakan malapetaka bagi penduduk yang kelaparan.
Mengapa demikian, karena untuk menghasilkan 13 galon etanol, diperlukan diperlukan 510 pounds atau 232 kilogram jagung. Padahal jagung sebanyak itu bisa dikonsumsi seorang anak di Zambia atau Meksiko selama satu tahun (Associated Press, 2007). Inilah yang disebut Ziegler sebagai contoh kejahatan melawan kemanusiaan. Fakta lainnya menunjukkan, sejak sebagian komoditi dialihkan menjadi biofuel, harga pangan dunia meningkat tajam. Selang setahun terakhir, antara bulan Maret 2007 dan Maret 2008, harga jagung dunia meningkat 31 %, beras 74 %, kedele 87 % dan gandum 130 % (BBC News.com, 29 Maret 2008).
Tak mengherankan jika Sekjen PBB Ban Ki-moon menyerukan agar dilakukan review yang komprehensif menyangkut pengembangan biofuel yang ternyata menyebabkan krisis pangan (The Guardian, 5 April 2008). Apalagi World Food Programme (WFP) mencatat sedikitnya 33 negara di Asia dan Afrika yang menghadapi ketidakstabilan politik karena rakyatnya kesulitan mendapatkan pangan.
BIOFUEL DI MINAHASA
Beberapa ekonomi dan birokrat di Sulawesi Utara sempat sibuk menampik situasi global ini dengan mengatakan bahwa di tengah krisis pangan dunia, Sulut malah akan mengalami Sulprus beras. Padahal fakta menunjukkan sulprus tersebut hanya untuk waktu beberapa bulan, belum lagi karena setiap tahun terjadi konversi lahan pertanian untuk kepentingan non pertanian.
Soal biofuel sendiri, mulai disebut-sebut di Sulawesi Utara (Sulut) selang tiga tahun terakhir. Adalah Kabupaten Minahasa yang pertama kali mengungkapkan keinginan untuk memproduksi biofuel, guna dijadikan sebagai bahan bakar alternatif. Komoditi yang dipilih adalah Jarak (Jathropa curcas), atau biasa disebut balacae atau saketa oleh orang Minahasa. Sudah ada investor yang digandeng untuk mengelola hasil tanaman jarak yang dikembangkan pada areal seluas 25 hektar di desa Tondegesan Kecamatan Kawangkoan, Kabupaten Minahasa. Tanaman ini juga akan dikembangkan di sejumlah kecamatan, seperti Lembean Timur, Kakas, Kombi dan Langowan Selatan
Investor Australia misalnya, sejauh ini tidak banyak disebut-sebut mengembangkan tanaman bahan baku biofuel di negaranya. Tetapi melirik Sulut sebagai wilayah penanaman. Ini sama persis dengan cara Malaysia mengurangi dampak buruk perkebunan Sawit dengan cara berinvestasi kebun Sawit di Sumatra dan Kalimantan. Sama halnya dengan cara Jerman dan Italia untuk mengurangi pencemaran lingkungan di negaranya dengan cara memberikan kredit ekspor kepada perusahaan patungan di Indonesia untuk membangun hutan tanaman industry dan pabrik pulp and paper di Sumatra dan Kalimatan. Ada investasi masuk, Jerman dapat kertas dengan kadar NaOX yang sangat rendah, yaitu 0,07 ppm, dan akhirnya Indonesia menuai kerusakan hutan dan tercemar limbah chlorine (Rio Ismail, 2001).
Yang pasti, hingga saat ini sudah ada PT Sakheta Minahasa Selatan (hasil joint venture dengan PT Saketha Indonesia Pratama) yang akan membangun pabrik biodiesel dengan kapasitas 1,5 juta liter biodisel per tahun. Perusahaan ini berlokasi di Amurang dan ditargetkan berproduksi awal 2009, menyusul kehadiran PT PT Sugico Graha dari Jakarta yang mengelola perkebunan jarak di Tondegesan. Di Kabupaten Minahasa Selatan sudah ada penanaman jarak di areal seluas 10 ribu hektar, dan di Tombatu, Minahasa Tenggara 600 hektar. Selanjutnya akan dilakukan perluasan area tanaman jarak, sehingga kapasitas produksi 1,5 juta liter setiap tahun dapat terpenuhi. Hasilnya akan diekspor ke Cina.
PELUANG ATAU BENCANA
Besarnya peluang investasi biofuel di Sulut ditandai dengan meningkatnya areal lahan yang ditanami tanaman Jarak. Data terbaru yang didapatkan di Dinas Perkebunan Sulut, pada tahun 2007, tanaman Jarak telah dibudidayakan pada lahan seluas 188 hektar, kendati baru 40 hektar yang menghasilkan dan sisanya 148 hektar termasuk dalam kategori belum menghasilkan.
Jika areal seluas 188 hektar yang ditanami Jarak merupakan lahan kritis, upaya ini tentu merupakan hal yang positif. Lahan yang tadinya tidak bisa menghasilkan apa-apa, bisa menghasilkan rupiah yang secara langsung akan meningkatkan taraf hidup petani. Namun bagaimana jika areal yang ditanami dulunya adalah lahan untuk budidaya tanaman pangan, seperti yang ditemui di Tondegesan? Jika itu terjadi, Sulut akan mengulangi kesalahan yang dilakukan sejumlah negara. Kalau sejumlah negara mengubah bahan pangan menjadi biofuel, Sulut mengubah lahan pangan (dalam hal ini Jagung dan kacang-kacangan) menjadi lahan Jarak.
Apa yang dikuatrikan Ban Ki-moon san Jean Ziegler memang tidak menjadi perhatian pemerintah di Minahasa. Prinsip kehatia-hatian dini (precautionary principle) yang termuat di dalam konvensi PBB tentang pembangunan berkelanjutan, memang menjadi acuan dalam pengembangan biofuel di Minahasa. Tidak ada satu pun kajian ekologis tentang hal ini, terkecuali alasan menangkap peluang bisnis di tengah krisis pemanasan global. Juga untuk mengurangi ketergantungan pada minyak tanah, terutama setelah kenaikan harga BBM bulan lalu. Pemkab Minahasa hanya memastikan telah berhasil menanam Jarak di lahan seluas 120 hektar di areal lahan kritis.
Sinyalemen Ban Ki-moon dan Ziegler menjadi benar-benar mengiang-ngiang dalam benak aktifis manakala pergi ke Tondegesan. Lokasi yang ditanami Jarak di wilayah ini ternyata diapit lahan yang ditanami Jagung yang sudah meninggi. Padahal sebelum ditanami jarak, petani setempat bisa mendapatan penghasilan sebanyak 1 ton dari setiap hektar lahan jagung.
Lemahnya kajian AMDAL di tengah-tengah kebijakan yang berorientasi bisnis semata menjadi pengembangan biofuel di daerah ini berjalan seperti cara yang ditempuh Presiden Brazil. Kepastian keberlanjutan ekologis adalah nomor dua, sementara kepastian keuntungan bisnis menjadi nomor satu. Bahwa masyarakat tidak protes, masalahnya tentu bukan pada soal setuju atau tidak setuju. Tetapi pada soal tidak tahu, tidak punya informasi dan tidak paham resiko ekologis jangka panjang.
Memang orang bisa mengatakan, komoditi jagung tidak terkait langsung dengan konsumsi masyarakat. Jagung hanya bernilai saat dia berupa ’milu muda’ yang direbus atau dibakar. Setelah menjadi tua, biji jagung hanya dikonsumsi hewan (ayam, bebek, babi), sementara batang dan daunnya dimakan sapi dan kuda. Tapi, biar bagaimana pun, jagung memegang peran penting dalam rantai makanan. Jika rantai ini terganggu, ujung-ujungnya yang terganggu adalah manusia.
Jadi, apakah biofuel itu merupakan bencana bagi kemanusiaan? Untuk lingkup global mungkin benar. Untuk tingkat lokal, masih harus ditunggu, setidaknya hingga beberapa tahun ke depan.
Menarik juga untuk ditunggu apakah budidaya Jarak yang sementara dikembangkan di Sulut benar-benar bisa menjadi solusi bagi krisis energi yang kini berlangsung. Kita tentu berharap budidaya Jarak yang sementara dikembangkan tidak akan gagal total, karena sudah ratusan hektar lahan (pertanian) yang dialihfungsikan. Jika budidaya Jarak (atau kerjasama dengan investor) gagal sementara lahan pertanian sudah dikorbankan, itu baru namanya bencana.
Fary SJ Oroh
BIOFUEL, bahan bakar yang dihasilkan dari tanaman, disebut-sebut sebagai alternatif sumber energi, guna mengganti minyak dan gas yang diolah dari sisa-sisa fosil. Tapi kenapa biofuel disebut sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan? Adalah Jean Ziegler, pakar dari United Nation (PBB) yang pertama kali menyatakan kalau biofuel itu a crime against humanity (Associated Press, 27 Juni 2007). Ia punya alasan mendasar: pengalihan beberapa bentuk produk pangan maupun areal pertanian pangan untuk memproduksi biofuel secara langsung menyebabkan kelangkaan pangan dan kelaparan bagi kaum miskin di berbagai belahan dunia.
Penggunaan bahan pangan sebagai bahan dasar untuk membuat biofuel telah dikembangkan sejumlah negara, seperti Brasil dan Amerika Serikat (AS). Bahkan presiden AS George Bush dan presiden Brasil Luiz Inacio Lula da Silva, yang dikenal beraliran sosialis dan suka melawan kebijakan ekonomi Amerika, pun telah menandatangani kesepakatan untuk mengembangkan etanol, sebagai bahan dasar biofuel. Bagi Bush dan Lula, pengembangan bahan bakar alternatif dari tumbuhan ini ramah lingkungan, dan akan menciptakan banyak lapangan kerja. Dan yang terpenting adalah bisa menghentikan ketergantungan pada minyak bumi.
Bagi banyak kalangan aktifis lingkungan, konversi lahan pertanian untuk agro industri (biofuel) adalah langkah yang nampak berbau ekologis tetapi sarat dengan latar belakang kepentingan jangka panjang yang bisa merusak lingkungan. Ziegler pun, kendati tidak menyebut kesepakatan kedua pemimpin negara itu salah, namun menilai bahwa dampak transformasi ratusan bahkan ribuan ton jagung, gandum, kacang-kacangan dan minyak kelapa sawit menjadi biofuel merupakan malapetaka bagi penduduk yang kelaparan.
Mengapa demikian, karena untuk menghasilkan 13 galon etanol, diperlukan diperlukan 510 pounds atau 232 kilogram jagung. Padahal jagung sebanyak itu bisa dikonsumsi seorang anak di Zambia atau Meksiko selama satu tahun (Associated Press, 2007). Inilah yang disebut Ziegler sebagai contoh kejahatan melawan kemanusiaan. Fakta lainnya menunjukkan, sejak sebagian komoditi dialihkan menjadi biofuel, harga pangan dunia meningkat tajam. Selang setahun terakhir, antara bulan Maret 2007 dan Maret 2008, harga jagung dunia meningkat 31 %, beras 74 %, kedele 87 % dan gandum 130 % (BBC News.com, 29 Maret 2008).
Tak mengherankan jika Sekjen PBB Ban Ki-moon menyerukan agar dilakukan review yang komprehensif menyangkut pengembangan biofuel yang ternyata menyebabkan krisis pangan (The Guardian, 5 April 2008). Apalagi World Food Programme (WFP) mencatat sedikitnya 33 negara di Asia dan Afrika yang menghadapi ketidakstabilan politik karena rakyatnya kesulitan mendapatkan pangan.
BIOFUEL DI MINAHASA
Beberapa ekonomi dan birokrat di Sulawesi Utara sempat sibuk menampik situasi global ini dengan mengatakan bahwa di tengah krisis pangan dunia, Sulut malah akan mengalami Sulprus beras. Padahal fakta menunjukkan sulprus tersebut hanya untuk waktu beberapa bulan, belum lagi karena setiap tahun terjadi konversi lahan pertanian untuk kepentingan non pertanian.
Soal biofuel sendiri, mulai disebut-sebut di Sulawesi Utara (Sulut) selang tiga tahun terakhir. Adalah Kabupaten Minahasa yang pertama kali mengungkapkan keinginan untuk memproduksi biofuel, guna dijadikan sebagai bahan bakar alternatif. Komoditi yang dipilih adalah Jarak (Jathropa curcas), atau biasa disebut balacae atau saketa oleh orang Minahasa. Sudah ada investor yang digandeng untuk mengelola hasil tanaman jarak yang dikembangkan pada areal seluas 25 hektar di desa Tondegesan Kecamatan Kawangkoan, Kabupaten Minahasa. Tanaman ini juga akan dikembangkan di sejumlah kecamatan, seperti Lembean Timur, Kakas, Kombi dan Langowan Selatan
Investor Australia misalnya, sejauh ini tidak banyak disebut-sebut mengembangkan tanaman bahan baku biofuel di negaranya. Tetapi melirik Sulut sebagai wilayah penanaman. Ini sama persis dengan cara Malaysia mengurangi dampak buruk perkebunan Sawit dengan cara berinvestasi kebun Sawit di Sumatra dan Kalimantan. Sama halnya dengan cara Jerman dan Italia untuk mengurangi pencemaran lingkungan di negaranya dengan cara memberikan kredit ekspor kepada perusahaan patungan di Indonesia untuk membangun hutan tanaman industry dan pabrik pulp and paper di Sumatra dan Kalimatan. Ada investasi masuk, Jerman dapat kertas dengan kadar NaOX yang sangat rendah, yaitu 0,07 ppm, dan akhirnya Indonesia menuai kerusakan hutan dan tercemar limbah chlorine (Rio Ismail, 2001).
Yang pasti, hingga saat ini sudah ada PT Sakheta Minahasa Selatan (hasil joint venture dengan PT Saketha Indonesia Pratama) yang akan membangun pabrik biodiesel dengan kapasitas 1,5 juta liter biodisel per tahun. Perusahaan ini berlokasi di Amurang dan ditargetkan berproduksi awal 2009, menyusul kehadiran PT PT Sugico Graha dari Jakarta yang mengelola perkebunan jarak di Tondegesan. Di Kabupaten Minahasa Selatan sudah ada penanaman jarak di areal seluas 10 ribu hektar, dan di Tombatu, Minahasa Tenggara 600 hektar. Selanjutnya akan dilakukan perluasan area tanaman jarak, sehingga kapasitas produksi 1,5 juta liter setiap tahun dapat terpenuhi. Hasilnya akan diekspor ke Cina.
PELUANG ATAU BENCANA
Besarnya peluang investasi biofuel di Sulut ditandai dengan meningkatnya areal lahan yang ditanami tanaman Jarak. Data terbaru yang didapatkan di Dinas Perkebunan Sulut, pada tahun 2007, tanaman Jarak telah dibudidayakan pada lahan seluas 188 hektar, kendati baru 40 hektar yang menghasilkan dan sisanya 148 hektar termasuk dalam kategori belum menghasilkan.
Jika areal seluas 188 hektar yang ditanami Jarak merupakan lahan kritis, upaya ini tentu merupakan hal yang positif. Lahan yang tadinya tidak bisa menghasilkan apa-apa, bisa menghasilkan rupiah yang secara langsung akan meningkatkan taraf hidup petani. Namun bagaimana jika areal yang ditanami dulunya adalah lahan untuk budidaya tanaman pangan, seperti yang ditemui di Tondegesan? Jika itu terjadi, Sulut akan mengulangi kesalahan yang dilakukan sejumlah negara. Kalau sejumlah negara mengubah bahan pangan menjadi biofuel, Sulut mengubah lahan pangan (dalam hal ini Jagung dan kacang-kacangan) menjadi lahan Jarak.
Apa yang dikuatrikan Ban Ki-moon san Jean Ziegler memang tidak menjadi perhatian pemerintah di Minahasa. Prinsip kehatia-hatian dini (precautionary principle) yang termuat di dalam konvensi PBB tentang pembangunan berkelanjutan, memang menjadi acuan dalam pengembangan biofuel di Minahasa. Tidak ada satu pun kajian ekologis tentang hal ini, terkecuali alasan menangkap peluang bisnis di tengah krisis pemanasan global. Juga untuk mengurangi ketergantungan pada minyak tanah, terutama setelah kenaikan harga BBM bulan lalu. Pemkab Minahasa hanya memastikan telah berhasil menanam Jarak di lahan seluas 120 hektar di areal lahan kritis.
Sinyalemen Ban Ki-moon dan Ziegler menjadi benar-benar mengiang-ngiang dalam benak aktifis manakala pergi ke Tondegesan. Lokasi yang ditanami Jarak di wilayah ini ternyata diapit lahan yang ditanami Jagung yang sudah meninggi. Padahal sebelum ditanami jarak, petani setempat bisa mendapatan penghasilan sebanyak 1 ton dari setiap hektar lahan jagung.
Lemahnya kajian AMDAL di tengah-tengah kebijakan yang berorientasi bisnis semata menjadi pengembangan biofuel di daerah ini berjalan seperti cara yang ditempuh Presiden Brazil. Kepastian keberlanjutan ekologis adalah nomor dua, sementara kepastian keuntungan bisnis menjadi nomor satu. Bahwa masyarakat tidak protes, masalahnya tentu bukan pada soal setuju atau tidak setuju. Tetapi pada soal tidak tahu, tidak punya informasi dan tidak paham resiko ekologis jangka panjang.
Memang orang bisa mengatakan, komoditi jagung tidak terkait langsung dengan konsumsi masyarakat. Jagung hanya bernilai saat dia berupa ’milu muda’ yang direbus atau dibakar. Setelah menjadi tua, biji jagung hanya dikonsumsi hewan (ayam, bebek, babi), sementara batang dan daunnya dimakan sapi dan kuda. Tapi, biar bagaimana pun, jagung memegang peran penting dalam rantai makanan. Jika rantai ini terganggu, ujung-ujungnya yang terganggu adalah manusia.
Jadi, apakah biofuel itu merupakan bencana bagi kemanusiaan? Untuk lingkup global mungkin benar. Untuk tingkat lokal, masih harus ditunggu, setidaknya hingga beberapa tahun ke depan.
Menarik juga untuk ditunggu apakah budidaya Jarak yang sementara dikembangkan di Sulut benar-benar bisa menjadi solusi bagi krisis energi yang kini berlangsung. Kita tentu berharap budidaya Jarak yang sementara dikembangkan tidak akan gagal total, karena sudah ratusan hektar lahan (pertanian) yang dialihfungsikan. Jika budidaya Jarak (atau kerjasama dengan investor) gagal sementara lahan pertanian sudah dikorbankan, itu baru namanya bencana.
0 komentar:
Posting Komentar