Kamis, 07 Agustus 2008

Pertambangan di Kawasan Lindung : Memanen Bencana Permanen

. Kamis, 07 Agustus 2008

Edisi Juli 2008

Reymoond "kexie" Mudami

‘’Ekonomi modern rakus dan tamak. Ia menelan gunung yang diselimuti pohon, danau, sungai, serta segala sesuatu di permukaan dan di perut bumi, lalu mengubahnya menjadi gunung rongsokan, limbah, sampah, dan lubang-lubang galian yang menganga’’. (Novelis AS, Edward Abbey (1927-1989), menuliskan pesan ini dalam The Monkey Wrench Gang dan karya nonfiksinya, Desert Solitaire).

PETANG yang agak lengang di sebuah kedai kopi kota Tahuna Kabupaten Sangihe Juni silam. Pitres Mangudis (41) uring-uringan, wajah pria asal Tabukan Selatan Sangihe itu acap tegang di sela percakapan yang melibatkan puluhan warga yang sebagian besar aktivis lingkungan. Mangudis salah satu yang terusik dengan kabar bakal beroperasinya tambang emas di wilayah itu. Baginya, SDA tak bisa ditukar dengan apapun terlebih kegiatan yang bisa mengancam kelestarian, ‘’Biar mo kase satu miliar le, kita tetap tolak pertambangan dan memilih melestarikan alam Sangihe, baiknya Pemda menggarap potensi lain untuk PAD,’’ sembur aktivis LSM Camar itu.

Mangudis dan kegusarannya adalah sekeping fakta dari rangkai besar kisah pertambangan yang centang-perenang selama ini. Nasibnya tidak berbeda jauh dengan ribuan warga yang tersingkir dari areal pertambangan PT Newmont Minahasa Raya (Minahasa Tenggara), PT Meares Soputan Mining (Minahasa Utara), dan PT Inco Tbk (Sulsel, Sultra dan Sulteng). Mengalami kekerasan, pencemaran dan kehilangan sumber penghasilan dan sumberdaya genetik.

JEJAK KOLONIAL
Pertambangan di Indonesia dimulai berabad-abad lalu. Namun pertambangan komersil baru dimulai pada zaman penjajahan Belanda, diawali dengan pertambangan batubara di Pengaron- Kalimantan Timur (1849) dan pertambangan timah di Pulau Belitung (1850). Pada awal abad ke- 20, Belanda mulai melakukan penambangan di lokasi lainnya di Sumatera dan Sulawesi. Pada 1928, bauksit di Bintan, dan tahun 1935 nikel di Pomalaa-Sulawesi. Menjelang 1967, pemerintah Indonesia memberlakukan sistem kontrak karya (KK) pertama kepada PT. Freeport Sulphure (sekarang PT. Freeport Indonesia).

Di Sulut, perusahaan pertambangan emas milik Belanda, Nederland Mynbouw Maschapij (NMM), mulai menguasai wilayah Mesel, Nibong, Leon, dan Lobongan pada 1887 (kini wilayah pertambangan PT Newmont Minahasa Raya/NMR). NMM mengakhiri operasinya pada tahun 1921. Mengantongi emas 5.000 kilogram emas, dan meninggalkan cerita kekejaman dan penghancuran sumber-sumber kehidupan. Juga beberapa lubang bekas tambang sebagai simbol kerusakan lingkungan, dan sebuah bangunan batu, yang biasa disebut metsel (dari Bahasa Belanda) atau dalam dialek lokal disebut mesel. Di wilayah ini PT NMR juga mengulang episode cerita lama itu. NMM maupun NMR hanya berbeda pada sejarah kehadiran, tetapi keduanya merusak dan dibela habis-habisan oleh penguasa dan para elit politik pada zamannya.

Pada awal 80-an, pemerintah menyebutkan 80% wilayah Sulut mengandung deposit emas. Data Dinas Pertambangan dan Energi Sulut (2008) menunjukkan, kegiatan pertambangan emas legal maupun tanpa izin menyebar dari Kota Bitung hingga perbatasan Gorontalo. Setidaknya ada 7 korporasi pemegang kontrak karya dan kuasa pertambangan yang menancapkan bor ke bumi Sulawesi Utara, di antaranya PT Meares Soputan Mining, PT Tambang Tondano Nusa Jaya, PT Newmont Minahasa Raya, PT Avocet Bolmong dan PT Tambang Sangihe. Termasuk dua perusahaan yang akan mengambil-alih sebagian kawasan Taman Nasional Bogani-Nani Wartabone di wilayah Gorontalo, yaitu PT Gorontalo Minerals dan PT Gorontalo Sejahtera Mining. Belum lagi kegiatan tambang lainnya seperti WPR Alason, PT Ratok Mining, CV Chandra CS, CV Air Mas, PT HW Rumansi, PT Limpoga Jaya, WPR Tobong, WPR Mintu, KUD Perintis dan WPR Monsi. Yang cukup mencengangkan kegiatan serupa berderet di banyak tempat (lihat data di halaman Palakat).

Di Kabupaten Bolmong pada awal tahun 80-an, kawasan Tobongon, Mintu, dan Lanut telah digarap oleh kurang lebih 19.000 penambang. Tambang memang telah memberi nafkah bagi ribuan warga yang tidak beruntung dalam proses pembangunan. Namun tragisnya, penambangan tanpa izin (PETI) sudah masuk ke TNBNW, dan menghadirkan dampak kerusakan atau bencana lingkungan bagi warga di kawasan hilir. Penambangan seperti ini pun telah berkembang jauh menjadi “areal perburuan” emas yang diorganisir oleh pengusaha dan politisi yang didukung oleh pemerintah. Luasan areal yang digarap mencapai 591,5 ha dengan jumlah penambang 11.200 orang. Belum terhitung sekitar 350 ha yang bakal dijadikan WPR.

RUSAK PERMANEN
Dampak penambangan sering dianggap ‘soal kecil’. Padahal, biaya sosial ekologis jauh lebih besar dan jangka panjang, serta memiliki daya rusak besar dan permanen terhadap manusia maupun alam. Laporan Human Rights Watch 2001 pun memaparkan keterkaitan antara kemiskinan, perusakan sumber daya alam, pelanggaran hak-hak asasi manusia dengan konflik. Hampir semua konflik, horizontal maupun vertikal, dari Aceh hingga Papua, bermuara pada perebutan sumber daya alam.

Penelitian Yoshinori Murai (2005) memperlihatkan, konflik di Kalimantan Barat jauh melampaui isu etnisitas. Kegiatan pertambangan dapat mengubah bentuk bentang alam, merusak dan menghilangkan vegetasi, menghasilkan limbah tailing maupun batuan, serta menguras air tanah dan air permukaan. Olfried Karlos, aktivis Elung Banua Tamako, Sangihe juga melihat fakta di sekitarnya bahwa pertambangan lebih banyak mudaratnya ketimbang manfaat. Kekuatiran Karlos dipicu oleh mulai terasa hawa ‘persinggungan’ antarwarga biasa dengan warga pekerja eksplorasi tambang Sangihe. ‘’Makanya lebih baik tambang emas jangan dilaksanakan di daerah ini,’’ sarannya.

Saat ini ada 158 perusahaan tambang, yang memiliki konsesi di kawasan lindung, meliputi luasan 11,4 juta hektar, tersebar di 85 kabupaten dan 26 propinsi. Dalam tulisannya tentang ‘Masa depan Investasi Pertambangan Indonesia’ Achmad Aris mengatakan kegiatan eksplorasi yang profit oriented berpotensi mendatangkan ancaman bagi peradaban manusia. Limbah tailing dari proses pertambangan yang mengandung bahan beracun berbahaya (B3) mercury, cadmium, arsenic dan cyanide merupakan ancaman terbesar bagi semua bentuk kehidupan. Sebuah Tim yang dipimpin Prof. Dr. Rizald M.Rompas MAgr maupun Badan Pengendali Dampak Lingkungan (Bapedal) dan Pusat Penelitian dan Pengelolaan Sumberdaya Alam (PP-PSDA) Unsrat Manado pada Oktober dan Desember 1999 misalnya, pernah menemukan kandungan mercury dan arsenic di ujung pipa pembuangan limbah PT Newmont Minahasa Raya di Teluk Buyat. Berbagai peneliti juga menemukan mercury dalam skala massif di wilayah pertambangan rakyat yang menggunakannya sebagai bahan baku pemisah emas di berbagai wilayah di Sulawesi Utara.

TAK SEBANDING
Analisis valuasi ekonomi antara tambang dan hutan lindung menunjukkan bahwa nilai ekonomi hutan lindung yang berkelanjutan, dua kali lipat dari pada nilai ekonomi tambang yang hanya sementara. Hutan lindung memberikan nilai manfaat ekonomi sebesar Rp. 265,5 miliar/tahun, sementara tambang dan HPH hanya memberi manfaat sebesar Rp.121,3 miliar/tahun, atau hanya setengahnya.

Simak hitungan lain yang ditulis Maria Hartiningsih dalam Harian Kompas 6 Maret 2008. Biaya pemulihan untuk mengaktifkan fungsi ekologi dari hutan alam yang menjadi tanah rusak, sebesar Rp 27,892 triliun untuk 6.000 hektar yang digunakan sebuah perusahaan atau Rp 4,648 miliar per hektar. Semua itu belum termasuk kerusakan yang sulit dipulihkan. Karena itu, banyak negara menghentikan izin pertambangan baru.

Hardrock Mining on Federal Lands, US Bureau of Land Management (2000) mencatat, salah satu tambang timbal (Pb) yang beroperasi pada zaman Romawi Kuno masih mengeluarkan sisa air asam sampai 2.000 tahun kemudian. Di Australia, biaya merawat air asam bekas tambang mencapai 60 juta dollar AS per tahun, dan perawatan tambang telantar 100.000 dollar AS per hektar, ditanggung oleh pajak rakyat. (Tim Periset: Arief Hariyadi, Erick Rarumangkay, Karel Polakitan, Meilyn Pathibang, Rio Ismail).

0 komentar:

 
Namablogkamu is proudly powered by Blogger.com | Template by o-om.com