Selasa, 07 September 2010

Kembali Kepada Fitrah

. Selasa, 07 September 2010

Sulit sebenarnya memberikan gambaran yang utuh soal Idulfitri, sebab hari kegembiraan yang dirayakan secara rutin tiap tahunnya ini juga mengalami perkembangan seiring dengan perkembangan interaksi dengan perkembangan jaman. Idulfitri bukan hanya sekedar perayaan spiritualitas keagamaan, melainkan juga peristiwa social, cultural, ekonomi bahkan politik. Secara religious Idulfitri adalah moment ‘new born’ karena umat muslim yang sebulan penuh berjuang mengendalikan diri baik dari sisi fisik dan psikis (jiwa, dorongan nafsu keinginan, kemarahan, dll) agar tidak jatuh dalam godaan dan keberdosaan (dosa privat dan dosa public) telah tunai sehingga sampailah kembali kepada keadaan semula (suci).

Ekspresi kegembiraan, pencapaian dan paripurna atas laku ‘asketis’ (mati raga) ini makin hari makin gembita. Jauh sebelum hari raya tiba bahkan ketika puasapun belum dijalankan di media-media elektronik utamanya televisi gegep gempitanya mulai terasa. Ketika sebulan penuh kaum muslim menahan haus dan lapar, televisi justru kekenyangan ‘iklan’ karena aneka slot acara yang bertema ramadhan meski banyak yang isinya justru bertentangan dengan laku yang tengah dijalankan oleh mereka yang menyaksikannya.

Selama bulan ramadhan ini, server para provider telekomunikasi pasti juga kelelahan mengatur lalulintas komunikasi baik dalam bentuk percakapan, teks maupun gambar. Dan puncaknya di hari Idulfitri pasti sedetikpun tidak akan beristirahat karena lintasan ucapan selamat yang ingin segera sampai berjubel dalam kanal-kanalnya. Terimakasih kepada para provider karena telah membantu ruang silaturahmi tanpa batas. Dengan sms, mms,video chat dan layanan yang lain hambatan jarak, ruang serta hambatan lain bisa diatasi sehingga silaturahmi tetap terjalin sebagaimana mestinya.

Bagi saya, yang kebetulan terlahir di sebuah kota kecil di Jawa Tengah, mempunyai pengalaman yang panjang atas bulan ramadhan dan idulfitri. Meski rangkaian hari ini adalah ‘property right’ saudara-saudara saya yang muslim, namun tetap saja saya turut memiliki perayaan hari raya idulfitri sebagai peristiwa social dan cultural di daerah dimana saya dibesarkan. Meski saya tak turut berpuasa, tetapi bukan berarti saya tak boleh ikut dalam kegembiraan saudara-saudari yang menuntaskannya. Di hari ini tidak boleh ada orang yang terlihat sedih, kelaparan dan kehausan. Maka semua orang diajak untuk turut gembira, percaya diri, dan makan minum sepuasnya. Kegembiraan dan keberlebihan dibagikan untuk semua orang tanpa memandang siapa dia.

Andainya sikap dan perilaku tidak membeda-bedakan di hari yang fitri ini terus bisa dipertahankan niscaya negeri yang ‘gemah ripah loh jinawi’ ini akan menjadi ruang hidup dan kehidupan bagi seluruh warganya secara damai dan sejahtera bersama. Bukankah idulfitri yang kerap dirayakan berbeda hari, toh tidak mendatangkan persoalan. Warga NU dan Muhammadiyah (untuk menyebut dua yang besar, namun masih banyak yang lainnya) berkali-kali berbeda dalam menentukan hari raya idulfitri namun toh tidak membuat warganya berkonflik apalagi sampai terjadi pertumpahan darah. Semua saling menenggang rasa, menghormati pilihannya. Ini semakin membuktikan bahwa puasa yang dijalankan sebulan penuh bukan hanya melahirkan sebuah kesucian hati melainkan juga kedewasaan dalam beriman.

Adalah mustahil untuk memastikan bahwa kita tidak akan jatuh lagi dalam ‘keberdosaan’ di masa mendatang. Karena pada ghalibnya kita adalah mahkluk pendosa. Namun pendosa diantara para pendosa ini, yang terbaik adalah saat melakukan kesalahan mau untuk mengakuinya, bertobat dan meminta maaf untuk berjanji tidak mengulanginya lagi. Pengakuan dosa adalah bukti dari kesadaran atas kenyataan bahwa diri kita punya kecenderungan untuk terus berdosa. Padahal tugas kemanusiaan kita adalah mewujudkan kwalitas ‘ke –Allah-an’ lewat kebertubuhan kita. Ini merupakan proses yang terus menerus dan tanpa akhir, karena pada dasarnya kita memang tidak akan bisa mencapai kualitas yang sama dengan-NYA. Maka di hari yang Fitri ini tak ada satupun alasan yang membuat kita tidak memaafkan kesalahan yang dilakukan orang lain kepada kita, dan tidak ada satupun alasan juga yang membuat kita harus menahan meminta maaf atas orang-orang yang telah kita sakiti, khianati atau kecewakan.

Moment Idulfitri adalah moment transformasi, melakukan lompatan perkembangan kesadaran untuk lebih mau merasakan penderitaan orang lain, mendengarkan keluh kesah harapan dan aspirasi orang lain, mendengarkan suara peringatan orang lain. Moment tranformasi individu sebagian besar warga bangsa ini andai bisa ditransformasi menjadi ‘tobat nasional’ dan kemudian memayungi ruang public di Indonesia niscaya akan menjadi sebuah kekuatan besar untuk melahirkan Indonesia baru, Indonesia damai dan sejatehtera dalam jalan yang di-ridhoi oleh Allah.

Maka, wahai para pemimpin negeri ini, di hari yang Fitri ini janganlah terlalu sibuk untuk mempersiapkan ‘open house’ dan menunggu tetamu datang untuk ‘sungkem’ menghatur beribu permintaan maaf. Hendaknya anda semua datang kepada rakyat dan memohon ‘ampun’ beribu maaf karena belum mampu atau bahkan ingkar atas janji-janji perbaikan bagi negeri ini. Andai itu tidak dilakukan di hari yang fitri ini maka benarlah bahwa negeri ini hanya dipimpin oleh para idiot yang tak tahu diri.

Selamat hari raya idulfitri, mohon maaf atas segenap kesalahan di hari yang lalu termasuk di hari ini.

Dari saya yang tengah turut bersiap ikut merayakan Idulfitri di bumi Kawanua.

0 komentar:

 
Namablogkamu is proudly powered by Blogger.com | Template by o-om.com